Rabu, 27 Februari 2008

Yang KU Tahu: Agraria Reform?

Yang Saya Tahu tentang Reforma Agraria
Oleh: Etik Sulistiowati N.

Menarik untuk mengawali tulisan ini dengan pertanyaan Pak Yoyok, ‘Jika Reforma Agraria jawabannya, Pertanyaannya Apa?’kalimat ini menurut saya mewakili kegelisahan saya dalam menemukan jawaban mengenai pentingnya reforma agraria, tujuan reforma agraria, teori dan konsepnya, cara pengimplementasian teori dan konsep reforma agraria, dan lain sebagainya.
Tidak banyak pengetahuan yang saya punya mengenai reforma agraria sebelum saya mengikuti kursus, saya hanya tahu bahwa reforma agraria adalah suatu konsep pembagian tanah terlantar oleh pemerintah kepada petani yang ingin memproduktifkan tanah sementara dia tidak memiliki tanah. Tanah terlantar adalah tanah yang dibiarkan pemiliknya selama lebih dari tiga tahun tanpa diberi perlakuan apapun. Dalam sejarahnya, konsep ini dikembangkan oleh Negara-negara sosialis sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kaum borjuis yang menguasai tanah-tanah pertanian. Konsentrasi tanah pada kaum borjuis menyebabkan ketimpangan dalam hal kepemilikan tanah. Kaum proletar yang tidak mempunyai tanah terpaksa menjadi buruh di tanah-tanah kaum borjuis, paling banter mereka menyewa tanah untuk dijadikan lahan budidaya. Negara-negara sosialis melakukan pengambilalihan tanah dari kaum borjuis untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kaum proletar. Hanya sebatas itulah konsep reforma agraria yang saya tahu sebelum saya mengikuti kursus.
Hal lain yang saya ketahui sebelum saya kursus adalah konsep ekonomi Islam. Konsep ekonomi Islam merupakan konsep yang lepas dari perdebatan apakah peran Negara harus dominan dalam menguasai faktor-faktor produksi ataukah diserahkan sepenuhnya kepada individu dan swasta. Sebab konsep ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan yang berbeda sama sekali, yaitu: Islam memandang bahwa seluruh sumberdaya alam di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah. Harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya merupakan pemberian Allah yang dikuasakan kepadanya.
Penguasaan ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan, tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka syara’ telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang boleh dan yang tidak boleh melalui salah satu sebab pemilikan. Syara’ telah menggariskan hukum-hukum perolehan individu, seperti: hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati, warisan, hibbah, wasiat dan sebagainya.
Dengan pandangan bahwa sumberdaya alam dikaruniakan untuk seluruh manusia, maka semua manusia berhak memilikinya. Namun, kepemilikan tersebut dibatasi berdasarkan karakteristik dan jumlah sumberdaya alam. Jenis kepemilikan yang dikenal di dalam Islam adalah kepemilikan umum, kepemilikan Negara, dan kepemilikan individu.
Benda-benda yang termasuk dalam kategori milik umum adalah benda-benda yang dibutuhkan oleh suatu komunitas, dimana setiap orang membutuhkannya. Hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang. Benda tersebut adalah energi, hutan dan air. Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya.
Kepemilikan Negara merupakan benda yang tidak termasuk dalam ketegori milik umum, melainkan milik individu karena benda tersebut berbentuk benda yang bisa dimiliki secara pribadi, semisal tanah dan barang-barang bergerak. Namun, benda-benda tersebut terkait dengan benda milik umum sehingga benda tersebut tidak terkategori milik umum maupun milik individu, pada saat tersebut benda tersebut menjadi milik Negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan tanah pertanian termasuk ke dalam kategori kepemilikan individu. Dalam pandangan Islam, pembahasan tanah tidak diletakkan pada luasan tanah yang dimiliki oleh seorang individu, tapi diletakkan pada konteks produktivitas tanah. Dalam arti bahwa hal mendasar mengenai tanah adalah produktivitasnya, seorang individu berhak memiliki tanah pertanian seluas apapun selama ia tidak menelantarkannya. Ia berhak memiliki tanah seluas apapun dengan syarat ia memproduktifkan sendiri tanahnya, baik dengan tenaga sendiri maupun dengan tenaga orang lain dengan manajemen yang baik.
Hal yang menjadi perbedaan konsep tanah menurut Islam dengan konsep tanah dalam sosialis dan kapitalis adalah dalam hal penyewaan tanah. Islam melarang penyewaan tanah pertanian untuk kepentingan pertanian. Hal ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa kepemilikan tanah terkait dengan pemproduktivitasan tanah. Siapa saja yang memproduktifkan tanah pertanian, dialah yang berhak memilikinya. Penyewaan tanah adalah konsep yang berlawanan dengan asumsi dasar pertanahan Islam.
Berdasarkan asumsi dasar tersebut, jika terdapat tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama lebih dari tiga tahun siapapun berhak memproduktifkannya, ini berarti juga bahwa tanah tersebut beralih menjadi milik orang yang memproduktifkannya. Jika tidak ada seorangpun yang mengambil alih tanah tersebut, Negara berhak mengambil alihnya untuk kemudian diberikan kepada orang yang ingin memproduktifkannya ataupun diproduktifkan sendiri oleh Negara. Pendapatan Negara yang diperoleh dari tanah tersebut kemudian di manfaatkan untuk kepentingan Negara.
Dengan membawa sedikit pemahaman tersebut ke dalam Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria, saya belum bisa mengelaborasi pemahaman saya tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan pemahaman mengenai reforma agraria yang saya peroleh dalam lingkar belajar. Walaupun begitu, saya merasa sangat bersyukur bertemu dengan narasumber utama reforma agraria Indonesia. Banyak hal yang saya peroleh dari lingkar belajar.
Sebagai seorang pemula, banyak hal yang belum saya mengerti mengenai reforma agaria, walaupun demikian, dari lingkar belajar ini saya jadi mengetahui bahwa reforma agraria lahir akibat kekejaman kapitalisme. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan sosial yang berupa kesenjangan antara kota-desa, kaya-miskin, petani yang mempunyai lahan luas-petani yang tidak mempunyai tanah dan lain sebagainya. Kesenjangan ini disebabkan karena watak individualisme yang melekat pada kehidupan kapitalistik. Dimana, dalam kehidupan kapitalistik berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Dalam hal ini, para pemilik modal berhak memiliki dan mengakses ke sumber produksi atau sumberdaya apapun untuk mengakumulasikan modalnya.
Terakumulasikannya modal pada pemilik modal menyebabkan kemiskinan yang dewasa ini semakin menjadi pemandangan utama di seluruh dunia, tidak hanya di Negara-negara berkembang, tetapi juga di Negara-negara maju. Mekanisme pengakumulasian modal dilakukan dengan cara yang canggih yang disebut dengan SAP (Structural Adjustment Program), melalui mekanisme ini aliran modal diarahkan hanya untuk para pemilik modal, tidak ada lagi keberpihakan kepada rakyat biasa maupun petani. Akses petani ke sumber-sumber produksi dihambat melalui kebijakan-kebijakan yang sudah dirancang para pemilik modal dengan para birokrat Negara.
Bentuk kebijakan yang mementingkan para pemilik modal diantaranya adalah UU yang berbau privatisasi sumberdaya alam. Di Indonesia, tidak ada pembatasan apapun terhadap pengaksesan dan kepemilikan sumberdaya alam apapun oleh para pemilik modal. Kebijakan seperti ini tentu saja berkaitan erat dengan tanah, tempat sumberdaya alam tersebut berada. Dan kebijakan ini tentu saja berpotensi meminggirkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat kebanyakan, termasuk juga petani.
Bagi petani, ekspansi kepemilikan tanah oleh pemilik modal berarti pengurangan dan penghapusan penguasaan dan pemilikan mereka atas tanah, dan ini berarti hilangnya sumber nafkah bagi keluarga mereka, dan ini juga berarti menciptakan kemiskinan secara sistematik. Penduduk desa yang miskin bermigrasi ke kota tanpa mempunyai modal yang memadai. Tidak banyak perubahan yang mereka alami, mereka pun tetap menjadi warga miskin.
Berangkat dari kondisi tersebut dan keinginan untuk menuntaskan kemiskinan secara sistematis dan secara struktural, maka salah satu konsep yang dipergunakan menjawabnya adalah konsep reforma agraria. Menurut Pak Gunawan dan BPN, reforma agraria bermain pada dua isu utama yaitu keadilan dan kesejahteraan. Sedangkan menurut Pak Nur Fauzi Rahman, motif reforma agraria adalah kerakyatan, keadilan, keberlanjutan pembangunan, dan harmonisasi sosial.
Konsep reforma agraria adalah suatu konsep untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh petani dan rakyat miskin yaitu kesenjangan akses dan kepemilikan tanah. Reforma agararia dilakukan dengan mendistribusikan tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah atau yang tanahnya sempit. Reforma agraria berkait erat dengan reforma ekonomi politik suatu Negara, walaupun seakan-akan konsep tersebut hanya untuk menjawab permasalahan petani miskin, tetapi pengimplementasian konsep tersebut akan mempengaruhi seluruh elemen masyarakat, terutama para pemilik modal dan Negara.
Bagi pemilik modal, implementasi konsep reforma agraria berarti mereka harus merelakan kepemilikan mereka atas sumberdaya alam untuk dikembalikan kepada Negara atau petani miskin. Bagi Negara, implementasi konsep ini berarti bertambahnya anggaran belanja Negara untuk membiayai pengimplementasian konsep tersebut. Biaya tersebut meliputi biaya untuk membeli tanah dari pemilik modal dan biaya untuk supporting system yang meliputi pupuk, bibit, penyuluhan dan lain sebagainya.
Pengimplementasian konsep reforma agraria dilaksanakan sesuai dengan kondisi, sejarah, dan ideology suatu Negara, serta motif suatu Negara dalam melaksanakan reforma agraria. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Secara sederhana, terdapat empat model utama dalam reforma agraria, yaitu (1) Radikal land reform, tanah milik pemilik modal diambil alih Negara tanpa ganti rugi, model ini diterapkan di Negara-negara komunis seperti Rusia, (2) land colonization, tanah pemilik modal diduduki oleh petani seperti yang terjadi di Brazil, (3) land right restitution, tanah-tanah yang dulu diambil alih oleh warga kulit putih diambil alih lagi oleh warga kulit hitam seperti yang terjadi di Afrika Selatan, dan (4) market based/assisted land reform, model ini diterapkan dengan tujuan untuk menghindari sentakan-sentakan politik.
Kondisi dan ideology suatu Negara juga akan mempengaruhi strategi reforma agraria yang akan dipilih. Strategi tersebut adalah apakah suatu Negara akan melakukan reforma agraria melalui state led, market led, peasant led, atau state-society driven. Pada Negara yang tidak pernah melakukan reforma agraria di masa lalu tapi sejak 1990 reforma agraria menjadi bagian penting kebijakan pembangunan nasional dan agenda politik dan pengimplementasiannya bagus, misalnya Brasil dan Filipina. Pada tahun 1950-1970-an, kedua Negara tersebut menggunakan strategi state led atau state driven, dampak dari stretegi ini adalah munculnya gerakan petani militant. Setelah tahun 1990, kedua Negara ini merubah strateginya menjadi pro market.
Di Indonesia, reforma agraria dimotori oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) tepatnya sejak kapan? Saya tidak tahu, namun berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Pak Gunawan dalam Kursus Land reform, BPN sudah mempunyai 64 model reforma agraria yang pengimplementasiannya disesuaikan dengan konteks local. Dari ke 64 model tersebut, BPN telah berhasil melaksanakan reforma agraria di beberapa daerah. Salah satu model yang dikembangkan oleh BPN adalah tenancy reform. Model ini berkaitan dengan perjanjian bagi hasil dari tanah hasil land reform. Model ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah memproteksi penyewa, tahap kedua adalah sell public land yaitu tanah pemerintah dijual ke masyarakat dengan pajak 10% selama sepuluh tahun, tahap ke tiga adalah land to the tiller yaitu pemilik tanah luas dialihkan ke petani yang tidak memiliki tanah, dan tahap ke empat adalah land equalization.
Dengan 64 model yang sudah dimiliki, BPN merasa masih harus belajar banyak. Hal yang masih harus dipelajari adalah: apakah reforma agraria untuk petani saja? Bagaimana strategi reforma agraria untuk Jawa dan Luar Jawa? Bagaimana mendekatkan subjek dan objek? Bagaimana strategi agar penerima tanah tidak mendekati tanah tapi satu kesatuan dengan tanah? Hal paling penting yang ingin dijawab oleh BPN adalah mana model yang paling tepat untuk reforma agraria di Indonesia dalam konteks sekarang?
Seiring proses belajar yang dilakukan oleh BPN, BPN telah mengetahui ciri khas reforma agraria yang pernah terjadi di Indonesia. Pertama, tanah-tanah yang melebihi batas maksimum diambil pemerintah. Kedua, tanah tersebut dibagi ke rakyat dan menjadi hak milik rakyat dengan ganti kerugian.
Yang paling menarik dari kursus reforma agraria adalah pertanyaan-pertanyaan kritis yang -diajukan oleh Pak Yoyok. Jika kita beramai-ramai mengkaji dan melakukan reforma agraria, sebenarnya apa yang kita ingin tuju dengan reforma agraria ini? Pertanyaan ini menurut saya lebih berkonteks Indonesia. Apa yang diinginkan Indonesia dengan agenda reforma agrariaya? Apakah yang dituju adalah kedaulatan pangan? Atau lebih dari itu, yaitu kemerdekaan Indonesia dari jerat-jerat neoliberalisme yang menguasai tidak hanya sektor pangan, tapi juga energy dan air? Lantas apakah reforma agraria juga termasuk mereform sistem penguasaan dan kepemilikan energy dan air?

Kamis, 21 Februari 2008

TINJAUAN ULANG DAN KRITIK SINGKAT: KEBANGKITAN AGENDA REFORMA AGRARIA DI AWAL ABAD 21 BERDASARKAN KONTEKS INDONESIA

Kursus Studi I/ Draft 1 (Tidak untuk Dikutip)


TINJAUAN ULANG DAN KRITIK SINGKAT:
KEBANGKITAN AGENDA REFORMA AGRARIA DI AWAL ABAD 21 BERDASARKAN KONTEKS INDONESIA



Gamma Galudra
Social Forestry Specialist
World Agroforestry Centre


Bahan bacaan yang ditawarkan membahas tentang sejarah dan uraian singkat tentang pasang surut kebijakan reforma agraria di beberapa negara sepanjang kurun waktu abad 20. Courville dan Patel (2006) membahas tentang sejarah reforma agrarian dan membandingkan berbagai negara pelaksanaan reforma agrarianya. Mereka menekankan bahwa mekanisme pasar yang diberlakukan dapat membahayakan keadilan akses petani miskin atas tanah. Mekanisme pasar atas tanah terjadi pada saat revolusi industri dan terus didorong hingga kini oleh World Bank atas dasar efisiensi dan efektivitas. Pada abad 20, beberapa negara telah memulai reforma agraria namun tidak berkelanjutan, distribusi kekayaan dan kekuasaan yang timpang menyebabkan reforma agraria gagal dilaksanakan secara menyeluruh. Berdasarkan sejarah, mereka mencoba mengklasifikasikan pendorong dilaksanakannya reforma agraria: perang dingin, revolusi social, konsolidasi paska perang ke-II dan kompromi politik. Di Indonesia, kondisi yang sama berlaku dimana pemerintah mencoba mendobrak sistem dan penataan agraria kolonial paska kemerdekaan sebagai bentuk revolusi sosial atas ketidakadilan sistem agraria selama ini.

Sama dengan tulisan pertama, tulisan kedua yang disajikan oleh Ghimire (2006) juga membahas tentang sejarah singkat perkembangan kebijakan reforma agraria namun lebih menitikberatkan kegagalan dan keberhasilan kebijakan tersebut di beberapa negara. Dari pengalaman-pengalaman di beberapa negara tersebut, dapat dikatakan Indonesia telah melalui proses dan tantangan yang sama dengan negara-negara lain:
1. Lambannya kodifikasi hak-hak atas tanah berdasarkan hukum adat ke dalam konteks hukum agraria nasional sehingga masyarakat adat tidak terlindungi haknya. Hal ini menimbulkan konflik khususnya ketika investor ingin menguasai tanah.
2. Kesulitan keuangan terjadi di tahun 1960an merugikan bekas pemilik tanah yang tanahnya terkena reforma agraria sehingga mereka menentang inisiatif ini. Harga yang ditawarkan jauh lebih rendah daripada harga pasar.
3. Program sertifikasi dalam bentuk hak milik justru melemahkan sistem komunal dari masyarakat adat, khususnya di tanah-tanah publik.
4. Lemahnya kekuatan financial dan besarnya hutang paska tahun 1966 dan 1999 menyebabkan pemerintah menyepakati perdagangan bebas dan liberalisasi perdagangan, khususnya proteksi pasar non-beras. Fungsi Bulog dirampingkan menyebabkan petani-petani tidak memiliki proteksi atas nilai jual hasil pertanian mereka.
Namun, beliau tidak membahas bagaimana peranan sains menghambat kemajuan reforma agraria. Khusus di Indonesia, tanah-tanah perkebunan erfpacht dan partikelir yang diamanatkan menjadi bagian dari pendistribusian tanah malah menjadi kawasan hutan negara seperti sebagian tanah-tanah kawasan hutan di Jawa.

Tulisan ketiga, disajikan oleh Borras et al (2006), menjabarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dilaksanakan reforma agraria yaitu ekonomi dan politik. Di Indonesia, dorongan untuk melaksanakan reforma agraria sebagian besar didasarkan atas kedua alasan ini. Sayangnya, mereka tidak menjabarkan kemungkinan politik lingkungan dan industri hutan turut serta mendorong adanya kemungkinan reforma agraria di kawasan hutan di Indonesia seperti Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Perhutanan Sosial. Terlepas bahwa besarnya kontroversi pelaksanaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di kawasan hutan, HTR ini bertujuan bukan hanya sekedar mengentaskan kemiskinan namun juga mempercepat laju reforestasi di kawasan hutan yang kritis dan menekan laju deforestasi.

El-Ghomeny (2002) membahas topic yang serupa dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Dengan membandingkan sejarah dan pengalaman negara-negara yang telah melaksanakan reforma agraria, beliau kembali mendorong agar pelaksanaan reforma agraria dilakukan melalui intervensi negara bersama dengan mekanisme pasar. Salah satu topic yang menarik yang dibahas adalah bagaimana proses reforma agraria yang dilakukan di Afrika ternyata telah meminggirkan akses tanah masyarakat adat. Privatisasi dilakukan menyebabkan tiadanya perlindungan atas masyarakat sehingga mereka terlibat hutang, melemahnya hak komunal wanita, perubahan sistem pertanian subsisten menjadi ekspor dan pasar dan tekanan dari pebisnis untuk membeli tanah-tanah masyarakat. Indonesia harus berusaha memahami sistem penguasaan tanah masyarakat adapt, namun paska 1966 dan 1999 menyebabkan pemerintah berusaha memprivatisasi tanah-tanah masyarakat adapt karena memberikan kepastian hukum bagi para investor. Pengalaman yang hampir sama berlaku pada masa Hindia Belanda Agrarische Wet 1870.

Cousins (2007) membahas kondisi urbanisasi di perkotaan akibat kemiskinan di pedesaan. Kemiskinan merebak bukan hanya dikarenakan timpangnya kepemilikan petani, namun paksaan kepada liberalisasi perdagangan pertanian menyebabkan produk-produk pertanian petani sulit masuk ke pasar karena kalah bersaing dengan produk-produk luar. Akibatnya, petani-petani terpaksa mencari pendpatan non-pertanian atau menjadi buruh kasar di perkotaan. Kejadian ini juga berlaku di Indonesia, walaupun mereka mengaku petani dan memiliki lahan pertanian, hanya 40% pendapatan mereka berasal dari pertanian.

El-Ghomeny (2003) juga membahas perkembangan kebijakan reforma agraria, namun yang paling menarik adalah definisi dari reforma agraria itu sendiri. Jika seandainya reforma agraria adalah pendistribusian hak property dan hak guna tanah bagi kepentingan para petani tak bertanah, maka apakah hak-hak tanah adat dapat terakomodasikan dalam konteks reforma agraria nasional. Sejarah reforma agraria di Indonesia tidak membahas apakah tanah-tanah adat menjadi bagian strategi reforma agraria seperti halnya privatisasi. Sejauh ini, BPN lamban mengkodifikasi tanah-tanah adat ke dalam bagian dari hukum pertanahan nasional. Ini terbukti ketika BPN tidak mampu mensertifikasi tanah-tanah adat sehingga tidak terlindungi secara hukum.

Melanjutkan pembahasan sebelumnya, de Janvry dan Sadoulet (2001) membagi 4 kategori akses tanah yang menjadi bagian dari reforma agraria yaitu transfer intra-keluarga seperti warisan, akses melalui keanggotaan masyarakat seperti hak-hak tanah anggota masyarakat adat, akses melalui penjualan di pasar tanah dan akses melalui non-koersif seperti transmigrasi. Yang paling menarik adalah akses tanah berdasarkan common property resources (CPR). Di Indonesia, sekitar 70% tanah-tanah merupakan tanah publik, kawasan hutan. Akses kepada tanah-tanah ini melalui sistem CPR lebih memungkinkan daripada privatisasi mengingat tanah-tanah public ini ditetapkan dengan alasan perlindungan lingkungan. Pemerintah sejauh telah menggalakkan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Industri, dan Perhutanan Sosial sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan. Privatisasi cenderung menyulitkan pemerintah untuk mengatur pemilik melakukan perlindungan lingkungan seperti yang terjadi di DAS Solo dimana masyarakat abai dalam melakukan konservasi tanah dan air sehingga menyebabkan banjir besar di akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008.

Terakhir, dibahas pula tentang akses wanita terhadap tanah oleh Razavi (2007) sebagai bagian penting dari reforma agraria. Untuk konteks Indonesia, wanita cenderung melakukan sistem pertanian subsistem dimana prioritas utama mereka adalah kebutuhan keluarga. Kondisi berlainan dengan kaum pria yang cenderung memahami aspek pasar sehingga cenderung menanam produk-produk pertanian pasar. Seandainya tujuan dari reforma agraria adalah memperkuat kedaulatan pangan rumah tangga, hak kepemilikan atas nama wanita perlu digalakkan. Namun, jika tujuannya peningkatan pendapatan keluarga, maka hak kepemilikan atas nama pria perlu digalakkan.

Secara garis besar, seluruh penulis membahas secara panjang tentang pasang-surut kebijakan reforma agraria dan tantangan ke depan. Namun, sayangnya, mereka lebih menekankan aspek politik dan ekonomi sebagai pengendali pasang surut kebijakan reforma agraria dan mengabaikan aspek penting lainnya, yaitu kepentingan sains khususnya aspek lingkungan. Penataan agraria bukan hanya ditentukan oleh kepentingan politik dan ekonomi, namun juga kemajuan sains dan politik lingkungan. Di abad 21 ini, tantangan ke depan adalah perubahan iklim yang sekarang menjadi komoditas politik berbagai negara. REDD yang akan disepakati dan akan mengikat berbagai negara di akhir tahun 2012 dapat saja menghambat atau mendorong reforma agraria tergantung dari cara pandang kita.

Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into

Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into
the Twenty-First Century

Penulis: M. Riadh El-Ghonemy (2003)

Fokus
 Isu-isu pembangunan pedesaaan dengan penekanan pada peran negara dan pasar dalam mengurangi ketimpangan distribusi tanah dan kemiskinan di pedesaan dengan tetap terkombinasi dengan mempertahankan pertumbuhan pertanian
 Berbagai dilema dan pilihan sulit yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan dalam pembangunan pedesaan dewasa ini

Argumen Pokok
 Rendahnya produktivitas dan gizi angkatan kerja pertanian yang tidak bertanah atau nyaris tidak bertanah bukanlah berakar pada kelangkaan tanah pertanian dan kredit, melainkan pada bagaimana keduanya ini dimiliki dan dipergunakan di bawah susunan kelembagaan yang ada.
 Mengajukan pendekatan land reform yang menekankan komplementaritas antara intervensi negara dan mekanisme pasar tanah yang memungkinkan negara-negara berkembang menjawab tantangan untuk meningkatkan akses pada tanah dan mengurangi kemiskikan dalam rangka menghindarkan risiko keresahan sosial dan kegoncangan politik.

Tujuan Tulisan
 Tujuan tulisan ini adalah menelaah isu-isu pembangunan pedesaan untuk memungkinkan negara-negara berkembang mengadopsi kebijakan-kebijakan yang fleksibel, yang menggabungkan antara intervensi negara dengan intervensi pasar untuk menghadapi tantangan-tantangan pembangunan pedesaan

Issue Analitis
 Perluasan pengertian land reform
 Pentingnya pembedaan antara sarana (means) dan tujuan (ends)
 Perluasan infrastruktur irigasi, jalan, sekolah, pemberian hak atas tanah, jaminan akses tanah dll à means
 Peningkatan kapabilitas manusia dari segi melek huruf, nutrisi, angka harapan hidup, dan penghargaan diri à end
 Pentingnya pembedaan antara tanah sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan dengan tanah sebagai institusi sosial
 Dua akar paradigmatik mengenai institusi kepemilikan tanah: tradisi Adam Smith dan tradisi Karl Marx

Evolusi Pembangunan Pedesaan
 Pasca kolonial kedua tradisi di atas tidak memadai untuk memahami problem-problem keterbelakangan di pedesaan maupun untuk menentukan keputusan-keputusan publik dan pilihan kebijakan pada negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II
 Dari situ pada dekade 1950 dan 1960an lahir prinsip-prinsip pembangunan ekonomi yang meletakkan peranan aktif pada negara untuk menjalankan pembaruan kelembagaan pro-poor yang meletakkan redistribusi aset (tanah dan pendidikan) beserta pertumbuhan ekonomi di bawah sebuah mekanisme perencanaan
 Namun dominasi paradigma pembangunan ekonomi ini hanya berumur pendek. Pada dekade 1980-1990an prinsip-prinsip neoliberal berjaya dalam konteks penyesuaian struktural dan persyaratan pemulihan hutang luar negeri

Pengalaman Berbagai Negara
1. Adanya perbedaan program-program reforma agraria di berbagai negara yang berakar dari gagasan dan paradigma yang diringkaskan di atas, sebagaimana tercermin dalam filsafat sosial operasional di masing-masing negara.
2. El-Ghonemy menunjukkan bagaimana kondisi-kondisi pra reforma agraria menjelaskan pilihan kebijakan, dan bagaimana institusi hak milik atas tanah dan kekuasaan otoritas merupakan inti dari berbagai organisasi produksi pertanian dan pembangunan pedesaan. Kesemuanya ini harus dipahami dalam konteks problem penguasan tanah, sejarah dan preferensi ideologis masing-masing negara
3. Intensitas program-program land reform secara historis mencapai puncaknya pada periode singkat tiga dekade 1950, 1960 dan 1970an yang merupakan zaman keemasan untuk emansipasi petani miskin
4. Adanya kekhususan sistem penguasaan tanah di berbagai negara ini menuntut tipe reforma yang relevan untuk masing-masing sistem penguasaan tanah tersebut
5. Mulai dekade 1990an para penganjur pendekatan pasar pada pembangunan pedesaan mengajukan kebijakan land reform yang standar untuk pembelian/penjualan tanah secara sukarela menurut harga pasar, yang difasilitasi oleh penyediaan kredit yang murah hati dan persyaratan longgar dan semua itu diterapkan secara seragam
6. Kebanyakan program land reform menganut ekonomi pasar kepemilikan pribadi yang menetapkan batas atas untuk kepemilikan pribadi, meredistribusi sisa tanahnya (kelebihan batasnya) kepada para petani yang kebanyakan menggarap tanah itu sebagai penyewa atau penyakap

Kritik Terhadap Pendekatan Pasar
 Pendekatan ini menimbulkan ambiguitas berkaitan dengan asumsi pasar tanah yang netral dan bebas politik maupun batas-batas antara pasar dan peran negara
 El-Ghonemy menunjukkan kepalsuan dari asumsi netralitas semacam ini, sekaligus menyarankan perlunya komplementaritas antara pasar dan negara di mana yang terakhir ini harus berperan untuk: (i) menyingkirkan hambatan kelembagaan dalam sistem perbankan, khususnya penawaran kredit dan rintangan-rintangan hipotek, (ii) mengurangi biaya transaksi dalam menyewakan dan mendaftarkan tanah, (iii) menyediakan informasi mengenai kualitas dan nilai sewa tanah serta ketersediaan tanah untuk dijual, dan (iv) menyediakan bantuan teknis untuk pemilik tanah baru

Tangangan Kedepan
 Bagaimana mempertemukan antara tantangan pembangunan pedesaan dalam konteks perubahan pilihan kebijakan (yang makin neoliberal) dengan redefinisi peran negara?
 Magnitude of the challenge ahead:
 meningkatnya jumlah pemilik lahan sempit, sementara share akses mereka tidak meningkat sehingga fragmentasi unit-unit kecil itu terus menajam
 kebanyakan bahan pangan dihasilkan oleh perempuan yang merupakan pihak paling dirugikan dalam sistem produksi dominan saat ini
 dialihkannya tanah pertanian pangan menjadi tanaman komersial yang berskala modal besar yang mengubah petani menjadi buruh dan mengancam ketahanan pangan lokal
 meningkatnya tuntutan atas akses terhadap tanah yang tercermin dari meningkatnya jumlah buruh tak bertanah yang bergantung pada upah khususnya, dan jumlah angkatan kerja pertanian pada umumnya
 ini diiringi dengan kecenderungan meningkatnya konsentrasi penguasaan tanah dewasa ini à dilihat dari rasio area pertanian dengan pekerja pertanian sebagai proxy untuk melihat supply dan demand untuk tanah yang bisa ditanami
 sebagai bagian dari ketentuan structural adjustment, budget pemerintah untuk pembangunan pedesaan dan infrastruktur pertanian saat ini dikurangi secara drastis

Redefinisi Peran Negara
 Bagaimana pemerintah di negara-negara berkembang dapat menjawab tantangan-tantangan di atas, mengingat kemampuan mereka telah dibatasi dan perannya dalam pembangunan telah diredifinisi oleh prinsip-prinsip neo-liberalism
 Respon mereka lebih sulit lagi oleh ketakutan untuk memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar dunia

Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues

“Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues”
Borras Jr., Saturnino M.; Cristóbal Kay, and A. Haroon Akram Lodhi (2006)

PENGENALAN DAN PENINJAUAN
Oleh: Raharjanto


Kami memiliki masalah nyata mengenai penyewaan tanah, distribusi tanah, banyak sekali penguasaan tanah di tgn satu org – tidak semua org memiliki tanah dan tak semua org memilikinya. Petani Honduras dalam skala kecil, meskipun byk org skr tinggal di kota daripada di daerah pedesaan, ukuran signifikan dari orang miskin di dunia masih tinggal di daerah pedesaan. Bagi mereka, tidak kurang dari rekan tunawisma mereka di kota kecil maupun kota besar, ketidak-punyaan tnah menyisakan masalh sosial.
Tema konstan dlm permasalahn mengenai tanah adalah penguasaan, baik dari tanah itu sendiri dan sumber2 material dan menggabungkannya dgn air, kayu, mineral, berternak dan bercocok tanam. Pengusaan ini bergntung pd hak2 kepemilikan. Kemampuan untuk memiliki dan memindahkan kepemilikan sebuah tanah melalui properti swasta, tanpa kecuali memiliki predikat bentuk lain dari kekuatan ekonomi, sosial dan budaya. pada waktu yg sama, perkembangan dan konsentrasi hak2 kepemilikan swasta khususnya mekanisme untuk mengelilingi dan mengkonsolidasi kekuatan beberapa kelompok diatas kelompok lainnya.
Dominansi model kepemilikan swasta mengizinkan kepemilikan tanah untiuk meningktkan konsentrasi di sepanjang garis kekuasaan yg muncul di tangan golongan kecil, biasanya laki2. pengecualian dalam aturan ini sulit dimenangkan. Kepemilikan swasta mengabaikan kebutuhan penting dari permintaan. Seperti reformasi tanah dan agrarian, perspektif histories Wood menambahkan(2000), contoh konkrit dari hak2 kepemilikan sperti ini melibatkan tdk kurang dari kelahiran dunia kapitalis modern. Perubahan hubungan yaitu petani, produser, dan tuan tanah dgn tnah berbalik pd kesatuan yg sungguh ada yg dpt diperjual-belikan dan ditengahi oleh pasar, merubah karakter kehidupan desa selamanya.
Ekspansi dari pasar tanah mengakibatkan dislokasi para tani secara ekonomi, fisik dan sosial, pertma kali di Inggris dan kmd, secra mengejutkan dlm jangka pendek, seluruh dunia. Pola ini akan diproduksi kembali kedlam koloni, dan stelah kemerdekaan Amerika, dimana petani kecil independent, yg sekiranya menjadi tulng belakang dari republik yg bebas menghadapi pilihan kejam dari kapitalisme agraris. Ketidaksama rataan menyebabkan perubahan sosial yg radikal diseluruh dunia.
Ribuan petani dan petani kecil ditekan karena tanah menjadi kota baru. Sekali wktu, merka digabungkan menjadi kumpulan baru hubungan sosial yg tdk lagi bergantung pd hubungn primer kpd tnah (Brown 1988, 28– 31).
Selama periode colonial awal di US, kedlam sbuah Negara yg memiliki sedikit petani dan yg memenangkan pasar bebas liberalime, ketangkasan dan ketidaksamaan konsentrasi suatu tanah merupakan pikiran dari kegelisahan sosial. Dipimpin oleh Thomas Paine, permintaan untuk “keadilan agraris’ telah maju, mengadakan sebuah distribusi tanah yg sama atau untuk kompensasi yg adil kpada petani kecil untuk menghindari efek yg tdk shat selama demam tnah di Inggris pd abad 18 (Paine 1925).
Naiknya pemusatan kdalam sedikit tangan oleh tanah agrikultur disekeliling dunia masih berlanjut hingga hari ini, dgn sedkit perhatian membanjiri kejadian dari ketidak-miliki-tanah dan ketidak-rataan yg di sebabkannya (Herring 2000; Thiesenhusen 1995, 159–62; Umehara and Bautista 2004, 3–18). Perjuangan dari ketidakadaan-tanah di afrika, asia, dan amerika latin telah membawa tuntutan yg diperbarui untuk reformasi agraris dan tanah diseluruh dunia.

KEBANGKITAN REFORMASI AGRARIS DI ABAD 21
PERGESERAN PERMINTAAN UNTUK PERUBAHAN AGRARIS
Awal abad 19 reformasi kedudukan tanah seringkali diambil, terutama di amerika latin, oleh calon negara selama mereka berjuang dari kolonial. Seringkali katalisator untuk reformasi kedudukan tanah dan agrarian awl berubah selama zaman ini adl kemerdekaan untuk kelas pedagang baru dan emansipasi elit nasional dari bekas kekuatan kolonial dan aturan keagamaan. Pertimbangan dari petani kecil merujuk pd expansi yg berkembang dari hubungan kolonial. Pentingnya petani kecil adl mereka akan mnjadi bagian dpn sbg proyek perkembngan nasional pd akhir abd 19, mulai menghadapi rintangan yg merupakan hubungan tanah feodal.
Pertanyaan agraria di akhir abd 19 berpusat pd peran sektor ladang kecil dan langkah pergerakan kapitalisme kedlm produksi agrikultur. Pd awal abd 20, muncul pertikaian klasik di uni soviet, antara mereka yg tdk dpt dielakkan memenangkan dominansi dan efisiensi ladang luas, sperti yg dikatakan Karl Kautsky (1988), dan ekonomi kluarga petani dpt berjalan sbg jalan alternative untuk perkembangan. Posisi awal petani kecil tidak kekal. Kelas yg menyusut pd pergeseran menuju perkembngan kapitalis di perkotaan. Analisa dan argument Kautsky, memodernkan sector agrikultur membantu memindahkan para petani dari tanah tsb menuju kota industri. Pandangan Kautskian mengenai perubahan agraris membagikan byk optimisme ditemukan pd teori industrialisasi klasik dan pergeseran kapitalis pd abd ke20. itu merupakan pandangan yg menangkap imajinasi dari byk pemimpin dunia yg berjuang u/ kemerdekaannya, dan dibentuk oleh kebijakan revolusioner Negara2 secra cepat, konversi skala besar dari sector agrikultur.
Organisasi nasional perkotaan dari industri agrikultur dimungkinkan dgn perjuangan liberal nasional, yg digambarkan pd ide tanah bagi manusia. Dari akhir perang dunia 2 sampai jatuhnya tembok Berlin, usaha untuk merdeka dari kolonialisasi ditutupi dgn retorika demokrasi, persamaan, dan hak, ketika mereka bosan membedakan pandangan mengenai reformasi tanah dan agrarian untuk perubahan nasional. Dengan berakhirnya perang dingin, pertikaian mengenai redistribusi tanah menyempit secara dramatis. Awalnya poin sentral dlm program kemerdekaan post-kolonial, reformasi agraris dan tanah dibingkai oleh pertimbangan persamaan dan efisiensi produksi ditimbang oleh Bank Dunia, dgn dukungan penuh dari institusi keuangan internasional dan jaringan kerja mereka pd elit local.
Diagnosa Reformasi agrarian neo-liberal dan menentukan kebijakan untuk daerah pedesaan dgn cara yg berbeda, secara signifikan dan proyek pembebasan nasional pd abd 20. melalui paradigma analitis ini, kebijakan dimana istilah ‘reformasi tanah’ merujuk pd perubahan diatas pengenalan dari pertengahan abd 20.


REFORMASI TANAH DAN AGRARIA PD ABAD 21: PERUBAHAN REALITA, PERUBAHAN PENDAPAT?

Buku I mike Davis, Planet Gembel, menggambarkan secara jelas mengenai masyarakat urban sec global yg mana ratusan dri ribuan org meninggalkan daerah pedesaan setiap minggu dlm pencarian sebuah tanah yg menjanjikan pekerjaan, rumah dan barang2. sebagian besar imigran kota, menemukan bahwa kehidupan mereka sperti gembel yg terlentang. Banyak yg tidak menemukan pekerjaan,dan hidup sederhana dgn ekonomi informal, skr diperkirakan sekitar 1 juta org. Davis mengkarakterkan ekonomi informal ini sbg tenggelamnya surplus pekerja yg hnya dpt melngkah dgn nafkah oleh prestasi yg lbih heroic dari eksploitasi diri dan subdivisi yg kompetitif (Davis 2004: 27). Gambaran berbeda dr pandangan Hernando de Soto mengenai sebuah ekonomi informal yg dinamis yg dipenuhi dgn jutaan wiraswastawan mikro, mengambilalih dlm antrian ke dunia fantasi kapitalisme hnya dgn penolakan dr pemerinthan mereka pd catatan awal dan meresmikan hak2 kepemilikan mereka.
Bagian dari alas an penerbangan massa dari perkotaan dunia ketiga adl kegagalan perkembangan kebijakan pedesaan dlm beberapa dekade lalu, apakah ini menuliskan istilah ‘perkembangan komunitas’, ‘modernisasi’ bagi petani agrikultur atau penyesuaian structural. Sementara kemiskinan di pedesaan telah menyisakan kedegilan di berbagai tempat, globalisasi kontemporer telah melihat kemunculan sec meningkat integrasi-global komoditas rantai agro-food dibawah control perusahaan agribisnis, yg mengawasi produksi, pemrosesan dan distribusi hasil panen dan produk ternak dlm pasar internasional. Pemerintah nasional berkeinginan untuk menarik investasi oleh perusahaan2 ini dan terbelakang untuk membuat tanah berguna bg mereka,kadang produksi agrikultur – sprit yg kita lihat terjadi di Uganda sekarng.
Beberapa produser pedesaan mengatur untuk mengamankan tempat bagi mereka dalam rantai komoditas global dgn memenuhi persyaratan pasar ekspor, mereka dilokasikan pd bidang tanah yg lebih luas dan memperkerjakan buruh yg bukan keluarga. Pd waktu yg sama, pasar liberal telah memperlihatkan barng impor berharga rendah yg membanjiri pasar domestic, menciptakan beberapa masalah bagi para petani. Pada ‘dunia baru yg berani’ ini, byk rumah tangga pedesaan tidak dpt lg bergantung pd agrikultur sj, dan telah dipaksa untuk membagi mata pencaharian mereka diantara ekonomi local, atau mencari sumber pendapatan non-rural. Seperti Deborah Bryceson katakan, skala besar ‘de-agrarianization’ dari ekonomi pedesaan sebgai hasil dari penyesuain kebijakan structural membantu menjelaskan perbedaan rumah tangga dan penyimpangan urban. Konsekuensi lain telh memunculkan bentuk baru dari perbedaan sosial diantara peringkat “para tani’ dan ‘masy desa yg miskin’, yg dibangun dlm kecenderungan yg melekat dari produser skala-kecil pedesaan untuk memisahkan kelas antagonis, tetapi mengartikulasikan dgn gender, etnik, agama, dan identitas lain.
Dalam kenyataan yg terus berubah ini, kita harus bertanya, apa latar belakang yg meyakinkan yg muncul pd reformasi tanah pd abad 21, dan khususnya, untuk kebijakan dan program pertanahan yg menanggulangi kemiskinan sgb kunci objektif mereka?
Hal ini kelihatannya tidak mencukupi untuk menyatakan kembali bahwa di negara2 dunia ketiga kemiskinan pedesaan menyisakan ketidaksama-rataan dalam kepemilikan tanah atau menganggap pasti bahwa masyarakat miskin memliki hak untuk bertanah dan bersumber penghasilan untuk makanan mereka.
Asumsi yg mudah yg mengamankan hak untuk memperbaiki kualitas tanah, mengadakan sec individual atau kolektif, bersamaan dgn akses kredit, pemasukan, pemasaran dan kebijakan, yg memilih produser skala kecil akan cukup menjamin rumah tangga pada mayoritas produser pedesaan.
Ini juga tidak mencukupi untuk menambahkan ‘perintah sosio-politik’ untuk reformasi tanah sperti mengamankan potensial konflik, bantuan dgn rekonstruksi post-konflik, mempromosikan hak2 dan status sosial dari kelompok pribumi dan wanita, memperbaiki ketidakadilan historis, atau mempromosikan lingkungan penggunaan tanah (Borras et al 2007). Hal ini menggambarkan asosiasi yg kuat antara tanah dan dinamika politik dalam beberapa konteks kontemporer, dan kesadaran yg tumbuh dari pertanyaan penting ekologi penopang – tapi apakah pertimbangan2 ini meyakinkan latar belakang pemberantasan kemiskinan reformasi tanah dlm goyangan capital?
Di lain sisi, adl benar bahwa varietas perjuangan yg terkenal diseluruh negeri berlanjut di bayak bagian di Afrika, amerika latin dan asia, sperti masyrkat pedesaan sec aktif menentang untuk dibuang dlm timbunan sampah sejarah, dan isu identitas tsb dan hubnungan kekuatan yg tidak rata seringkali dilengkapi dengan perjuangan.
Dlm pandanganku realita perubahan dan urbanisasi dunia membutuhkan kita untuk mempertimbangkan kembali keadilan ekonomi untuk reformasi tanah, dan berpikir melalui apakah artinya untuk pendukung agenda tanah miskin dlm perjuangan, advokasi dan kebijakan2. sperti sebelumnya, berpikir melalui koneksi antara tanah dan rumah tangga agrikultur, sebaik bentuk pendapatan lain menjadi penting, jika argument logis yg lbih besar dari reformasi agraria disusun.
Analisis
Jika kita kembali pada landasan filosofis yang mendasari ide dan cita-cita Reforma Agraria, sambil mempehitungkan peluang dan kemungkinan yang ada saat ini, maka akan tampak, bahwa upaya untuk melempangkan jalannya tidaklah semudah seperti kita membalik tangan, sekalipun di tengah iklim kehidupan sosial-politik yang lebih terbuka seperti saat ini.
Reforma Agraria pada dasarnya adalah perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Itu artinya, Reforma Agraria akan membawa konsekuensi pada terjadinya perubahan struktur kekuasaan di masyarakat di satu sisi; dan dengan begitu akan selalu berhadapan dengan kekuatan status quo yang tidak menghendaki perubahan di sisi lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Reforma Agraria yang sejati – berorientasi pada kepentingan rakyat banyak – tidak menjadi pilihan kebijakan bagi sejumlah pemerintahan yang elite-elit ekonomi-politiknya, termasuk kroni-kroninya memonopoli sumber-sumber agraria. Sampai pada titik ini, maka tantangan terbesar yang signifikan merintangi jalannya Reforma Agraria datang dari pihak-pihak yang merasa kepentingan ekonomi dan politiknya terancam bila kehendak politik itu dilaksanakan. Mereka yang memonopoli pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria, terutama perusahaan-perusahaan swasta besar (domestik maupun TNCs); dan mereka yang dapat meraup keuntungan besar dari kondisi itu – bisa pemerintah maupun golongan masyarakat tertentu – adalah pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan. Perubahan bagi mereka adalah kerugian besar yang tidak mungkin bisa diterima.
Faktor lain yang menjadi penghalang jalan Reforma Agraria datang dari kekuasan kapitalis global yang secara sistematis dan terencana – melalui institusi WTO, World Bank, IMF, lembaga donor, bahkan organisasi non pemerintah (ornop) – terus menggulirkan dan mendesakkan agenda globalisasi. Seperti telah banyak dibahas oleh kalangan intelektual kritis, faham pemikiran yang meyakini persaingan bebas sebagai kunci untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan ini pada dasarnya merupakan instrumen perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang diciptakan oleh kekuatan kapitalis global untuk memperlancar proses penghisapan terhadap sumber-sumber agraria yang melimpah di negara-negara Dunia Ketiga. Tujuannya hanya satu, akumulasi modal! Dalam kerangka globalisasi dan pasar bebas, sumber-sumber agraria yang secara hakiki merupakan aset bagi pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak – memiliki fungsi sosial – hendak diubah menjadi barang modal yang penguasaan dan pemilikannya terkonsentrasi hanya dibeberapa tangan pemilik modal besar. Dengan begitu, maka tidak saja rakyat menjadi kehilangan akses dan kontrol mereka atas sumber-sumber agraria bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, juga kehilangan basis sumber daya bagi diperolehnya kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik mereka (Fauzi 2003:12).
Pada dasarnya permasalahan agraria di Negara-negara dunia ketiga, seperti juga Honduras dalam hal ini ialah bagaimana saling berterkaitannya instrument-instrument alat penindas seperti para para industrialis(para pengusaha dengan berbagai macam asset-asetnya) dan juga para birokrat (Negara) yang berfungsi sebagai sebuah alat legitimasi bagi sebuah jalinan kerjasama antara para negara dan para pengusaha yang memiliki sebuah kepentingan untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang ada di tanah tersebut, adanya berbagai macam instrument penindas ini bisa dimungkinkan apabila didalam perspektif pemerintahan sebuah Negara tersebut menganut paham kapitalistik yang sangat jelas membutuhkan lahan-lahan yang luas bagi sebuah kepentingan alat produksi kelompok pengusaha ini, para pengusaha ini kemudian menggunakan berbagai relasi kekuasaan dan deal-deal politik tertentu dengan penyelenggara pemerintah, pada akhirnya hal ini akan berakibat pada tercerabutnya sebuah alat produksi yang paling vital bagi masyarakat terutama kaum tani yaitu tanah sebagai alat produksi yang sangat vital harus tercerabut dari kepemilikan kaum tani, ada banyak kasus di berbagai Negara yang mengindikasikan hal ini sebagai sebuah akar kemiskinan masyarakat beserta berbagai problem sosial yang menyertainya, karena pada dasarnya tanah sebagai sebuah alat produksi perekonomian adalah merupakan pijakan perekonomian bagi kaum tani, hal inilah kemudian yang menyebabkan maraknya kemiskinan di Negara-negara berkembang, dikarenakan ada sebuah frame penataan kenegaraan ala kapitalisme dan menganut azas hukum pasar, dalam hal ini Negara menggunakan berbagai instrument-instrumen yang ada baik itu institusi sipil maupun militer untuk melancarkan hajat mereka bersama kaum pemodal yang terkadang harus mencerabut akar perekonomian rakyat yaitu tanah, adapun berbagai instrument yang dimiliki oleh Negara berdasarkan pengalaman di Indonesia pada era 1945 sampai 1965 dimana pada saat itu frame kenegaraan sangat bercorak sosialis dengan berbagai produk perundang-undangannya termasuk UUPA 1960, dimana dengan aturan-aturan ini dianggap hal yang sangat mengganggu kepentingan kaum pemodal dan pemilik tanah baik asing maupun lokal untuk memenuhi hajat perekonomian mereka, hal inilah yang kemudian menginspirasi dari berbagao kalangan baik di dalam maupun di luar negeri untuk merancang sebuah konspirasi politik untuk menggantikan pemerintahan yang bercorak sosialis untuk digantikan dengan model pemerintahan bercorak kapitalistik, setelah periode 1945-1965 model pemerintahan sangat bercorak kapitalistik yang cenderung menguntungkan kaum pemodal dan sering mencerabut hak perekonomian masyarakat dalam hal ini ialah petani, sehingga munculnya kaum-kaum urban di perkotaan, sampai pada banyaknya warga masyarakat yang menjadi buruh-buruh migrant tak ayal lagi adalah merupakan salah satu imbas dari adanya sistem pemerintahan yang sering mengorbankan tanah rakyat untuk kepentingan pemodal.
Sampai saat ini, agenda Reforma Agraria mendapat tantangan yang sangat berat. Selain karena gagasan Reforma Agraria dianggap aneh oleh sementara orang, juga dianggap tidak relevan dengan ‘kebenaran global’ serta arus utama tentang gagasan perubahan sosial dewasa ini (Fakih 1997:xviii). Agenda dominan saat ini adalah bagaimana menciptakan kebijakan agraria yang lebih memudahkan untuk investasi modal perusahaan-perusahaan besar. Alasannya, untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Sialnya, pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak (keseluruhan).
Dihadapkan pada kenyataan itu, maka (1) para pendukung Reforma Agraria harus “menjajakan” suatu gagasan yang sama sekali tidak ada dalam agenda diskursus umum tentang bagaimana merombak struktur ketimpangan agraria yang telah menyebabkan kemiskinan (Fakih 1997:xviii). (2) Gagasan Reforma Agraria juga akan berhadapan dengan arus utama ekonomi dunia yang lebih dimenangkan (didominasi) oleh gagasan ekonomi liberal yang kapitalistik dalam era yang dikenal dengan globalisasi. Dua kesulitan ini pada dasarnya berada pada tataran “perang posisi” dan kesulitan dalam membangun “blok historis” guna memproduksi hegemoni tandingan (counter hegemony).
Faktor ketiga yang ikut menjadi penghalang jalan Reforma Agraria datang dari kekuatan pro Reforma Agraria sendiri. Hingga kini onrop dan organisasi rakyat (tani) masih belum mampu menjadi kekuatan pendorong perubahan yang cukup kuat dan solid. Diakui atau tidak, baik ornop maupun organisasi rakyat (tani) masih banyak menghadapi kendala – pada tataran ideologis maupun praksis (Fakih 1996) – yang potensial menjadi faktor penghambat, bahkan kontra produktif terhadap upaya-upaya Reforma Agraria yang sejati. Padahal, jika kita kembali pada prasyarat pokok Reforma Agraria, selain adanya political will dari pemerintah, terpisahnya elite penguasa dari pengusaha, serta tersedianya data tentang masalah agraria yang lengkap, prasyarat pokok lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya organisasi rakyat (tani) yang kuat, mandiri dan memiliki komitmen yang tegas (King 1977 sebagaimana dikutip Wiradi 2001:6).
Keempat, kita juga masih menghadapi kenyataan, bahwa cita-cita untuk mewujudkan Reforma Agraria masih sering dituduh sebagai kehendak yang berakar dari ideologi komunis yang harus diperangi. Ironisnya, sikap phobi dan paranoid semacam ini tidak hanya melanda kalangan masyarakat awam dan mereka yang merasa sumberda ekonomi dan politiknya terancam, melainkan juga melanda kalangan intelektual, akademisi dan elit politik, bahkan sebagian kaum tani di pedesaan. Petani dan masyarakat pedesaan pada umumnya cenderung menghindari pembicaraan yang menyangkut masalah Reforma Agraria dan land reform. Alasannya, mereka takut dicap BTI (Barisan Tani Indonesia) atau dituduh PKI.
Kelima, faktor lain yang ikut menyumbang kesulitan pelaksanaan Reforma Agraria adalah langkanya pakar agraria di dalam negeri yang mau secara serius dan komprehensif mendalami masalah-masalah agraria, menyebarluaskan dan mewacanakan pemikirannya ke hadapan publik luas. Akibatnya, baik wacana teoretis, historis maupun deskripsi-empiris tentang masalah agraria menjadi barang yang sangat langka (Wiradi 2003). Dengan begitu, maka proses sosialisasi dan penyadaran – baik kepada masyarakat maupun pemerintah, bahkan kalangan ornop sekalipun – tentang hakikat dan arti pentingnya Reforma Agraria pun menjadi terhambat. Ini merupakan masalah serius, sebab sebuah pembaruan tanpa disertai kesadaran dan pemahaman yang jernih hanya akan melahirkan euphoria nirnalar.

Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments?

Land Reform Pro-Poor: Reformasi Agenda Strategis Masalah Agraria

Judul Asli: Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments?
Penulis: Ben Cousins
Oleh: Sindu Dwi Hartanto

Gambaran urbanisasi global dan kemiskinan pedesaan merupakan permasalahan structural yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam menyikapi perubahan sosial masyarakat menuju kesejahteraan yang berkeadilan. Ketimpangan structural yang terjadi menuju pada permasalahan yang dianggap oleh para pakar sebagai penyebanya adalah peramasalahan agrarian yang tidak kunjung terselesaikan. Masih selalu menjadi wacana, walaupun banyak pakar yang sudah mulai terlibat untuk banyak memikirkan keberlangsungan proses agrarian reform.
Dampak lemahnya pengkajian tentang masalah agrarian reform itu dilakukan dalam persepsi yang selalu mengakibatkan pada aspek kemiskinan dan akses lahan. Persepsi tentang kondisi lemahnya konstruksi dari masalah agrarian mengakibatkan dampak munculnya ekonomi informal yang sangat luas. Pandangan tentang ekonomi informal disikapi berbeda oleh beberapa pakar yaitu:
Pertama, Davis (2004) memperlihatkan bahwa kondisi masyarakat yang sekrang terjadi adalah suatu fenomena yang sangat memprihatinkan. Masyarakat mengalami kenyataan hidup yang bertambah parah dalam kondisi ekonomi yang informal, mengalami ketidak jelasan, dan itu dialami oleh lebih dari 1 milyar orang di dunia. Kondisi seperti itu merupakan gambaran dari dampak mobilitas penduduk dalam bentuk migrasi dan urbanisasi masyarakat yang terjadi secara cepat. Kondisi demikian memindahkan masyarakat pedesaan setiap minggunya hingga ratusan ribu orang menuju perkotaan. Suatu angka yang luar biasa dalam hitungan orang dalam kelompok pedeasan.
Karakteristik masyarakat dengan ekonomi informal digambarkan oleh Davis dalam beberapa ciri yaitu: 1) suatu masyarakat yang memiliki surplus tenaga kerja; 2) penghuninya hanya dapat melakukan sistem produksi, distribusi, dan kegiatan ekonomi dalam logika sistem sobsitensi; 3) untuk menjaga eksistensi hidupnya maka mereka harus melakukan perjuangan; 4) tidak hanya itu mereka juga melakukan eksploitasi diri; 5) mempunyai kompetisi yang ketat berkaitan dengan akses lahan.
Kedua, pandangan Hermando de Soto lebih optimis menghadapi dinamika ekonomi masyarakat yang dianggap informal. Pandangan de Soto yang berbeda adalah bahwa dinamika ekonomi informal ditempati jutaan pengusaha kecil (atau UKM) yang merupakan suatu keajaiban dari sistem ekonomi dunia kapitalis. Pandangan tersebut merupakan analisa sistem yang melihat suatu ekonomi informal dalam kacamata fungsional. Sehingga keterkaitan antara pengusaha kecil merupakan suatu bagian dari sistem kapitalis yang perlu diperhatikan, secara khusus oleh pemerintah. Nah, hal inilah yang belum dilakukan.
Ketiga, Ben Cousins lebih memberikan kajian dalam studi mikro di tingkat pedesaan. Pembangunan di negara berkembang banyak menghasilkan kegagalan, terutama kegagalan kebijakan pembangunan pedesaan yang terjadi pada masa dekade sebelumnya. Pembanguna pedesaan menciptakan kemiskinan yang susah untuk dilakukan perubahan. Dampak lainnya adalah sistem global yang mencoba melakukan ekspansi sistem koorporasi bisnis pertanian besar. Dampak globalisasi kontemporer memberikan suatu kekuatan untuk melakukan penyatuan komoditi pangan pertanian global menuju kontrol korporasi bisnis pertanian besar tersebut. Bagaimanapun, sistem korporasi global mengatur sistem produksi, proses dan distribusi hasil panen dan ternak dalam sistem pasar internasional.
Salah satu problem lanjutan dari sistem globalisasi pertanian berdampak pada kebanjiran harga ekspor yang murah sampai masuk ke pasar domestik. Sistem ekonomi pertaian perdesaan sudah tidak lagi menjadi harapan rumah tangga di pedesaan. Kehidupan mereka tidak dapat sepenuhnya disandarkan kepada pertanian saja. Mereka dipaksa mendapatkan mata pencaharian lainnya yang diusakan di tingkat lokal atau mereka akan terlempar ke luar dari desa untuk mencari sumber penghasilan lainnya yang tidak ada di desa—hanya ada di kota. Gambaran penjelasan tentang kondisi tersebut dapat dilihat dalam tulisan Deborah Bryceson yang telah menunjukkan de-agrarianisasi yang cukup besar dari ekonomi pedesaan sebagai hasil dari adaptasi struktur kebijakan. Analisis Briceson dapat menolong untuk menjelaskan diverifikasi mata pencaharian.
Dampak lainnya adalah memunculkan format baru tingkatan perbedaan sosial masyarakat petani (differensiasi sosial) dan masyarakat miskin perdesaan. Kondisi perbedaan sosial cenderung terbangun pada kondisi yang melekat pada produsen pedesaan dengan skala kecil untuk mulai memisahkan dalam kondisi yang berlawanan antara kelas pengusaha dan kelas pekerja. Namun, kondisi demikian membuat artikulasi berdasarkan gender, etnik, keagamaan, dan identitas lainnya menjadi semakin kompleks.
Keempat, Perubahan global banyak memberikan bermacam kesulitan. Rigg (2006) dalam tulisan Causin (2007) disebutkan bahwa proporsi penduduk desa yang besar di negara berkembang akan terus bertambah kesengsaraannya. Usaha yang dijanjikan bahwa perubahan ekonomi menuju kepada kesejahteraan merupakan suatu keragu-raguan. Penduduk desa tidak akan pernah menjadi ”pengusaha pedesaan” (rural entrepreneurs) karena mereka kekurangan sumber daya dan aset dasar yang diperlukan untuk mengembangkan diri, terutama kaitannya dengan tanah. Rigg pesimis juga tentang perubahan global yang dijanjikan, namun kenyataan memberikan gambaran yang memberikan dukungan membenarkannya.
Causin selanjutnya memberikan titik kritisnya pada masalah pembahasan yang diungkapkan untuk menjelaskan perubahan kondisi agraria abad 21. pertanyaanya adalah apa dasar pemikiran yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan land reform di abad 21? Karena menurut dia pandangan awal, di atas hanyalah suatu penjelasan yang sangat subjektif dan lebih sederhana untuk menjelaskan kompleksitas permasalahan agraria di abat ini. Dan semestinya pendapat di atas masih perlu dipertanyakan.
Menurut Causin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada masalah yaitu: pertama, masalah konflik (violent conflict). Konflik perlu diwaspadai dalam agenda mendesak land reform. Agenda land reform diharapkan dapat memberikan pengobatan dan membantu rekonstruksi pasca-konflik. Kedua, masalah promosi hak dan status sosial kelompok lokal dan wanita. Ketiga, perbaikan ketidak adilan sejarah. Keempat, melakukan promosi lahan untuk keberlanjutan lingkungan ekologi. Kelima, adalah isu identitas dan ketidak-adilan relasi kekuasaan.
Untuk menghindari permasalahan di atas setidaknya disarankan mempertimbangkan beberapa hal yaitu: pertama, keadilan ekonomi untuk land reform; kedua perjuangan land reform untuk rakyat miskin (pro-poor); ketiga, advokasi kebijakan. Reformasi harus dipastikan untuk memberikan jaminan produktifitas terhadap berlangsungya akumulasi kapital dan pembangunan nasional, eliminasi kemiskinan, dan transformasi sosial.
Rasionalitas untuk land reform perlu kembali dikuatkan sebagai tujuan strategis untuk kepentingan di atas. Namun apakah argumen ekonomi masih relevan untuk diartikulasikan lagi? Jika diperlukan dilakukan penyusunan kembali rasionalitas untuk menguatkan agenda strategis land reform.
Ada 6 tipologi dari sebagai kata kunci untuk melakukan reformulasi rasional mewujudkan land reform pro-poor, yaitu:
Pertama, pemikiran neo-liberal memfokuskan perhatiannya pada efissiensi produktif dan berpikir tentang kebijakan yang diharapkan akan mengoptimalkan sesuatu yang terbatas yaitu: lahan, tenaga kerja, dan modal untuk meningkatkan kekuatan pasar menuju proses penciptaan kesejahteraan. Kedua, tradisi neo-populis memfokuskan pada skala produksi termasuk kebijakan untuk merubah jenis, variasi bentuk, dan skala produksi. Ketiga, pembangunanisme yang berorientasi pada mata pencaharian terfokus pada bervariasinya sumber-sumber mata pencaharian masyaraakt miskin yang menolong dan menghindari keterbatasn diharapkan dapat memberikan pengamanan pada masalah perencanaan pembangunan.Keempat, pendekatan land reform untuk kesejahteraan yang difokuskan pada keamanan pangan rumah tangga. Kelima, tradisi populis radikal memusatkan perhatian pada kebutuhan konfigurasi struktur agraria baik lokal maupun global. Keenam, tradisi Marxian yang memberikan perhatian untuk mengevaluasi ekonomi land reform yang fokus pada relasi kelas dan relasi gender yang menyangga organisasi produksi dan struktur agraria yang ada.
Walaupun ada tawaran tentang munculnya aliran eklektiksisme (eclecticism) yang memfokuskan pada fokus yang diambil dari setiap aliran pemikiran di atas, namun sebenarnya beberapa pemikiran tersebut masih perlu suatu diskusi tindak lanjut yang fokus pada melakukan ulang format yang memberikan dukungan terwujudnya land reform yang pro-poor. Hal ini diperlukan karena percepatan dunia kontemporer. Inilah tantangan para aktor agraria untuk mengembangkan pemikiran kreatif untuk membuat skenario yang dapat dipercaya untuk keberlangsungan ekonomi yang pro-poor—baik di desa maupun di kota. Bagaimana agenda land reform yang dikehendaki? Bagaimana memformulasikan agraria reform yang pro-poor? Dasar pemikiran yang mana yang akan kita pergunakan? Melihat lokalitas, bagaimana kreatifitas untuk mengembangkan agenda tersebut? Deagrarianization?