“Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues”
Borras Jr., Saturnino M.; Cristóbal Kay, and A. Haroon Akram Lodhi (2006)
PENGENALAN DAN PENINJAUAN
Oleh: Raharjanto
Kami memiliki masalah nyata mengenai penyewaan tanah, distribusi tanah, banyak sekali penguasaan tanah di tgn satu org – tidak semua org memiliki tanah dan tak semua org memilikinya. Petani Honduras dalam skala kecil, meskipun byk org skr tinggal di kota daripada di daerah pedesaan, ukuran signifikan dari orang miskin di dunia masih tinggal di daerah pedesaan. Bagi mereka, tidak kurang dari rekan tunawisma mereka di kota kecil maupun kota besar, ketidak-punyaan tnah menyisakan masalh sosial.
Tema konstan dlm permasalahn mengenai tanah adalah penguasaan, baik dari tanah itu sendiri dan sumber2 material dan menggabungkannya dgn air, kayu, mineral, berternak dan bercocok tanam. Pengusaan ini bergntung pd hak2 kepemilikan. Kemampuan untuk memiliki dan memindahkan kepemilikan sebuah tanah melalui properti swasta, tanpa kecuali memiliki predikat bentuk lain dari kekuatan ekonomi, sosial dan budaya. pada waktu yg sama, perkembangan dan konsentrasi hak2 kepemilikan swasta khususnya mekanisme untuk mengelilingi dan mengkonsolidasi kekuatan beberapa kelompok diatas kelompok lainnya.
Dominansi model kepemilikan swasta mengizinkan kepemilikan tanah untiuk meningktkan konsentrasi di sepanjang garis kekuasaan yg muncul di tangan golongan kecil, biasanya laki2. pengecualian dalam aturan ini sulit dimenangkan. Kepemilikan swasta mengabaikan kebutuhan penting dari permintaan. Seperti reformasi tanah dan agrarian, perspektif histories Wood menambahkan(2000), contoh konkrit dari hak2 kepemilikan sperti ini melibatkan tdk kurang dari kelahiran dunia kapitalis modern. Perubahan hubungan yaitu petani, produser, dan tuan tanah dgn tnah berbalik pd kesatuan yg sungguh ada yg dpt diperjual-belikan dan ditengahi oleh pasar, merubah karakter kehidupan desa selamanya.
Ekspansi dari pasar tanah mengakibatkan dislokasi para tani secara ekonomi, fisik dan sosial, pertma kali di Inggris dan kmd, secra mengejutkan dlm jangka pendek, seluruh dunia. Pola ini akan diproduksi kembali kedlam koloni, dan stelah kemerdekaan Amerika, dimana petani kecil independent, yg sekiranya menjadi tulng belakang dari republik yg bebas menghadapi pilihan kejam dari kapitalisme agraris. Ketidaksama rataan menyebabkan perubahan sosial yg radikal diseluruh dunia.
Ribuan petani dan petani kecil ditekan karena tanah menjadi kota baru. Sekali wktu, merka digabungkan menjadi kumpulan baru hubungan sosial yg tdk lagi bergantung pd hubungn primer kpd tnah (Brown 1988, 28– 31).
Selama periode colonial awal di US, kedlam sbuah Negara yg memiliki sedikit petani dan yg memenangkan pasar bebas liberalime, ketangkasan dan ketidaksamaan konsentrasi suatu tanah merupakan pikiran dari kegelisahan sosial. Dipimpin oleh Thomas Paine, permintaan untuk “keadilan agraris’ telah maju, mengadakan sebuah distribusi tanah yg sama atau untuk kompensasi yg adil kpada petani kecil untuk menghindari efek yg tdk shat selama demam tnah di Inggris pd abad 18 (Paine 1925).
Naiknya pemusatan kdalam sedikit tangan oleh tanah agrikultur disekeliling dunia masih berlanjut hingga hari ini, dgn sedkit perhatian membanjiri kejadian dari ketidak-miliki-tanah dan ketidak-rataan yg di sebabkannya (Herring 2000; Thiesenhusen 1995, 159–62; Umehara and Bautista 2004, 3–18). Perjuangan dari ketidakadaan-tanah di afrika, asia, dan amerika latin telah membawa tuntutan yg diperbarui untuk reformasi agraris dan tanah diseluruh dunia.
KEBANGKITAN REFORMASI AGRARIS DI ABAD 21
PERGESERAN PERMINTAAN UNTUK PERUBAHAN AGRARIS
Awal abad 19 reformasi kedudukan tanah seringkali diambil, terutama di amerika latin, oleh calon negara selama mereka berjuang dari kolonial. Seringkali katalisator untuk reformasi kedudukan tanah dan agrarian awl berubah selama zaman ini adl kemerdekaan untuk kelas pedagang baru dan emansipasi elit nasional dari bekas kekuatan kolonial dan aturan keagamaan. Pertimbangan dari petani kecil merujuk pd expansi yg berkembang dari hubungan kolonial. Pentingnya petani kecil adl mereka akan mnjadi bagian dpn sbg proyek perkembngan nasional pd akhir abd 19, mulai menghadapi rintangan yg merupakan hubungan tanah feodal.
Pertanyaan agraria di akhir abd 19 berpusat pd peran sektor ladang kecil dan langkah pergerakan kapitalisme kedlm produksi agrikultur. Pd awal abd 20, muncul pertikaian klasik di uni soviet, antara mereka yg tdk dpt dielakkan memenangkan dominansi dan efisiensi ladang luas, sperti yg dikatakan Karl Kautsky (1988), dan ekonomi kluarga petani dpt berjalan sbg jalan alternative untuk perkembangan. Posisi awal petani kecil tidak kekal. Kelas yg menyusut pd pergeseran menuju perkembngan kapitalis di perkotaan. Analisa dan argument Kautsky, memodernkan sector agrikultur membantu memindahkan para petani dari tanah tsb menuju kota industri. Pandangan Kautskian mengenai perubahan agraris membagikan byk optimisme ditemukan pd teori industrialisasi klasik dan pergeseran kapitalis pd abd ke20. itu merupakan pandangan yg menangkap imajinasi dari byk pemimpin dunia yg berjuang u/ kemerdekaannya, dan dibentuk oleh kebijakan revolusioner Negara2 secra cepat, konversi skala besar dari sector agrikultur.
Organisasi nasional perkotaan dari industri agrikultur dimungkinkan dgn perjuangan liberal nasional, yg digambarkan pd ide tanah bagi manusia. Dari akhir perang dunia 2 sampai jatuhnya tembok Berlin, usaha untuk merdeka dari kolonialisasi ditutupi dgn retorika demokrasi, persamaan, dan hak, ketika mereka bosan membedakan pandangan mengenai reformasi tanah dan agrarian untuk perubahan nasional. Dengan berakhirnya perang dingin, pertikaian mengenai redistribusi tanah menyempit secara dramatis. Awalnya poin sentral dlm program kemerdekaan post-kolonial, reformasi agraris dan tanah dibingkai oleh pertimbangan persamaan dan efisiensi produksi ditimbang oleh Bank Dunia, dgn dukungan penuh dari institusi keuangan internasional dan jaringan kerja mereka pd elit local.
Diagnosa Reformasi agrarian neo-liberal dan menentukan kebijakan untuk daerah pedesaan dgn cara yg berbeda, secara signifikan dan proyek pembebasan nasional pd abd 20. melalui paradigma analitis ini, kebijakan dimana istilah ‘reformasi tanah’ merujuk pd perubahan diatas pengenalan dari pertengahan abd 20.
REFORMASI TANAH DAN AGRARIA PD ABAD 21: PERUBAHAN REALITA, PERUBAHAN PENDAPAT?
Buku I mike Davis, Planet Gembel, menggambarkan secara jelas mengenai masyarakat urban sec global yg mana ratusan dri ribuan org meninggalkan daerah pedesaan setiap minggu dlm pencarian sebuah tanah yg menjanjikan pekerjaan, rumah dan barang2. sebagian besar imigran kota, menemukan bahwa kehidupan mereka sperti gembel yg terlentang. Banyak yg tidak menemukan pekerjaan,dan hidup sederhana dgn ekonomi informal, skr diperkirakan sekitar 1 juta org. Davis mengkarakterkan ekonomi informal ini sbg tenggelamnya surplus pekerja yg hnya dpt melngkah dgn nafkah oleh prestasi yg lbih heroic dari eksploitasi diri dan subdivisi yg kompetitif (Davis 2004: 27). Gambaran berbeda dr pandangan Hernando de Soto mengenai sebuah ekonomi informal yg dinamis yg dipenuhi dgn jutaan wiraswastawan mikro, mengambilalih dlm antrian ke dunia fantasi kapitalisme hnya dgn penolakan dr pemerinthan mereka pd catatan awal dan meresmikan hak2 kepemilikan mereka.
Bagian dari alas an penerbangan massa dari perkotaan dunia ketiga adl kegagalan perkembangan kebijakan pedesaan dlm beberapa dekade lalu, apakah ini menuliskan istilah ‘perkembangan komunitas’, ‘modernisasi’ bagi petani agrikultur atau penyesuaian structural. Sementara kemiskinan di pedesaan telah menyisakan kedegilan di berbagai tempat, globalisasi kontemporer telah melihat kemunculan sec meningkat integrasi-global komoditas rantai agro-food dibawah control perusahaan agribisnis, yg mengawasi produksi, pemrosesan dan distribusi hasil panen dan produk ternak dlm pasar internasional. Pemerintah nasional berkeinginan untuk menarik investasi oleh perusahaan2 ini dan terbelakang untuk membuat tanah berguna bg mereka,kadang produksi agrikultur – sprit yg kita lihat terjadi di Uganda sekarng.
Beberapa produser pedesaan mengatur untuk mengamankan tempat bagi mereka dalam rantai komoditas global dgn memenuhi persyaratan pasar ekspor, mereka dilokasikan pd bidang tanah yg lebih luas dan memperkerjakan buruh yg bukan keluarga. Pd waktu yg sama, pasar liberal telah memperlihatkan barng impor berharga rendah yg membanjiri pasar domestic, menciptakan beberapa masalah bagi para petani. Pada ‘dunia baru yg berani’ ini, byk rumah tangga pedesaan tidak dpt lg bergantung pd agrikultur sj, dan telah dipaksa untuk membagi mata pencaharian mereka diantara ekonomi local, atau mencari sumber pendapatan non-rural. Seperti Deborah Bryceson katakan, skala besar ‘de-agrarianization’ dari ekonomi pedesaan sebgai hasil dari penyesuain kebijakan structural membantu menjelaskan perbedaan rumah tangga dan penyimpangan urban. Konsekuensi lain telh memunculkan bentuk baru dari perbedaan sosial diantara peringkat “para tani’ dan ‘masy desa yg miskin’, yg dibangun dlm kecenderungan yg melekat dari produser skala-kecil pedesaan untuk memisahkan kelas antagonis, tetapi mengartikulasikan dgn gender, etnik, agama, dan identitas lain.
Dalam kenyataan yg terus berubah ini, kita harus bertanya, apa latar belakang yg meyakinkan yg muncul pd reformasi tanah pd abad 21, dan khususnya, untuk kebijakan dan program pertanahan yg menanggulangi kemiskinan sgb kunci objektif mereka?
Hal ini kelihatannya tidak mencukupi untuk menyatakan kembali bahwa di negara2 dunia ketiga kemiskinan pedesaan menyisakan ketidaksama-rataan dalam kepemilikan tanah atau menganggap pasti bahwa masyarakat miskin memliki hak untuk bertanah dan bersumber penghasilan untuk makanan mereka.
Asumsi yg mudah yg mengamankan hak untuk memperbaiki kualitas tanah, mengadakan sec individual atau kolektif, bersamaan dgn akses kredit, pemasukan, pemasaran dan kebijakan, yg memilih produser skala kecil akan cukup menjamin rumah tangga pada mayoritas produser pedesaan.
Ini juga tidak mencukupi untuk menambahkan ‘perintah sosio-politik’ untuk reformasi tanah sperti mengamankan potensial konflik, bantuan dgn rekonstruksi post-konflik, mempromosikan hak2 dan status sosial dari kelompok pribumi dan wanita, memperbaiki ketidakadilan historis, atau mempromosikan lingkungan penggunaan tanah (Borras et al 2007). Hal ini menggambarkan asosiasi yg kuat antara tanah dan dinamika politik dalam beberapa konteks kontemporer, dan kesadaran yg tumbuh dari pertanyaan penting ekologi penopang – tapi apakah pertimbangan2 ini meyakinkan latar belakang pemberantasan kemiskinan reformasi tanah dlm goyangan capital?
Di lain sisi, adl benar bahwa varietas perjuangan yg terkenal diseluruh negeri berlanjut di bayak bagian di Afrika, amerika latin dan asia, sperti masyrkat pedesaan sec aktif menentang untuk dibuang dlm timbunan sampah sejarah, dan isu identitas tsb dan hubnungan kekuatan yg tidak rata seringkali dilengkapi dengan perjuangan.
Dlm pandanganku realita perubahan dan urbanisasi dunia membutuhkan kita untuk mempertimbangkan kembali keadilan ekonomi untuk reformasi tanah, dan berpikir melalui apakah artinya untuk pendukung agenda tanah miskin dlm perjuangan, advokasi dan kebijakan2. sperti sebelumnya, berpikir melalui koneksi antara tanah dan rumah tangga agrikultur, sebaik bentuk pendapatan lain menjadi penting, jika argument logis yg lbih besar dari reformasi agraria disusun.
Analisis
Jika kita kembali pada landasan filosofis yang mendasari ide dan cita-cita Reforma Agraria, sambil mempehitungkan peluang dan kemungkinan yang ada saat ini, maka akan tampak, bahwa upaya untuk melempangkan jalannya tidaklah semudah seperti kita membalik tangan, sekalipun di tengah iklim kehidupan sosial-politik yang lebih terbuka seperti saat ini.
Reforma Agraria pada dasarnya adalah perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Itu artinya, Reforma Agraria akan membawa konsekuensi pada terjadinya perubahan struktur kekuasaan di masyarakat di satu sisi; dan dengan begitu akan selalu berhadapan dengan kekuatan status quo yang tidak menghendaki perubahan di sisi lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Reforma Agraria yang sejati – berorientasi pada kepentingan rakyat banyak – tidak menjadi pilihan kebijakan bagi sejumlah pemerintahan yang elite-elit ekonomi-politiknya, termasuk kroni-kroninya memonopoli sumber-sumber agraria. Sampai pada titik ini, maka tantangan terbesar yang signifikan merintangi jalannya Reforma Agraria datang dari pihak-pihak yang merasa kepentingan ekonomi dan politiknya terancam bila kehendak politik itu dilaksanakan. Mereka yang memonopoli pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria, terutama perusahaan-perusahaan swasta besar (domestik maupun TNCs); dan mereka yang dapat meraup keuntungan besar dari kondisi itu – bisa pemerintah maupun golongan masyarakat tertentu – adalah pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan. Perubahan bagi mereka adalah kerugian besar yang tidak mungkin bisa diterima.
Faktor lain yang menjadi penghalang jalan Reforma Agraria datang dari kekuasan kapitalis global yang secara sistematis dan terencana – melalui institusi WTO, World Bank, IMF, lembaga donor, bahkan organisasi non pemerintah (ornop) – terus menggulirkan dan mendesakkan agenda globalisasi. Seperti telah banyak dibahas oleh kalangan intelektual kritis, faham pemikiran yang meyakini persaingan bebas sebagai kunci untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan ini pada dasarnya merupakan instrumen perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang diciptakan oleh kekuatan kapitalis global untuk memperlancar proses penghisapan terhadap sumber-sumber agraria yang melimpah di negara-negara Dunia Ketiga. Tujuannya hanya satu, akumulasi modal! Dalam kerangka globalisasi dan pasar bebas, sumber-sumber agraria yang secara hakiki merupakan aset bagi pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak – memiliki fungsi sosial – hendak diubah menjadi barang modal yang penguasaan dan pemilikannya terkonsentrasi hanya dibeberapa tangan pemilik modal besar. Dengan begitu, maka tidak saja rakyat menjadi kehilangan akses dan kontrol mereka atas sumber-sumber agraria bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, juga kehilangan basis sumber daya bagi diperolehnya kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik mereka (Fauzi 2003:12).
Pada dasarnya permasalahan agraria di Negara-negara dunia ketiga, seperti juga Honduras dalam hal ini ialah bagaimana saling berterkaitannya instrument-instrument alat penindas seperti para para industrialis(para pengusaha dengan berbagai macam asset-asetnya) dan juga para birokrat (Negara) yang berfungsi sebagai sebuah alat legitimasi bagi sebuah jalinan kerjasama antara para negara dan para pengusaha yang memiliki sebuah kepentingan untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang ada di tanah tersebut, adanya berbagai macam instrument penindas ini bisa dimungkinkan apabila didalam perspektif pemerintahan sebuah Negara tersebut menganut paham kapitalistik yang sangat jelas membutuhkan lahan-lahan yang luas bagi sebuah kepentingan alat produksi kelompok pengusaha ini, para pengusaha ini kemudian menggunakan berbagai relasi kekuasaan dan deal-deal politik tertentu dengan penyelenggara pemerintah, pada akhirnya hal ini akan berakibat pada tercerabutnya sebuah alat produksi yang paling vital bagi masyarakat terutama kaum tani yaitu tanah sebagai alat produksi yang sangat vital harus tercerabut dari kepemilikan kaum tani, ada banyak kasus di berbagai Negara yang mengindikasikan hal ini sebagai sebuah akar kemiskinan masyarakat beserta berbagai problem sosial yang menyertainya, karena pada dasarnya tanah sebagai sebuah alat produksi perekonomian adalah merupakan pijakan perekonomian bagi kaum tani, hal inilah kemudian yang menyebabkan maraknya kemiskinan di Negara-negara berkembang, dikarenakan ada sebuah frame penataan kenegaraan ala kapitalisme dan menganut azas hukum pasar, dalam hal ini Negara menggunakan berbagai instrument-instrumen yang ada baik itu institusi sipil maupun militer untuk melancarkan hajat mereka bersama kaum pemodal yang terkadang harus mencerabut akar perekonomian rakyat yaitu tanah, adapun berbagai instrument yang dimiliki oleh Negara berdasarkan pengalaman di Indonesia pada era 1945 sampai 1965 dimana pada saat itu frame kenegaraan sangat bercorak sosialis dengan berbagai produk perundang-undangannya termasuk UUPA 1960, dimana dengan aturan-aturan ini dianggap hal yang sangat mengganggu kepentingan kaum pemodal dan pemilik tanah baik asing maupun lokal untuk memenuhi hajat perekonomian mereka, hal inilah yang kemudian menginspirasi dari berbagao kalangan baik di dalam maupun di luar negeri untuk merancang sebuah konspirasi politik untuk menggantikan pemerintahan yang bercorak sosialis untuk digantikan dengan model pemerintahan bercorak kapitalistik, setelah periode 1945-1965 model pemerintahan sangat bercorak kapitalistik yang cenderung menguntungkan kaum pemodal dan sering mencerabut hak perekonomian masyarakat dalam hal ini ialah petani, sehingga munculnya kaum-kaum urban di perkotaan, sampai pada banyaknya warga masyarakat yang menjadi buruh-buruh migrant tak ayal lagi adalah merupakan salah satu imbas dari adanya sistem pemerintahan yang sering mengorbankan tanah rakyat untuk kepentingan pemodal.
Sampai saat ini, agenda Reforma Agraria mendapat tantangan yang sangat berat. Selain karena gagasan Reforma Agraria dianggap aneh oleh sementara orang, juga dianggap tidak relevan dengan ‘kebenaran global’ serta arus utama tentang gagasan perubahan sosial dewasa ini (Fakih 1997:xviii). Agenda dominan saat ini adalah bagaimana menciptakan kebijakan agraria yang lebih memudahkan untuk investasi modal perusahaan-perusahaan besar. Alasannya, untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Sialnya, pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak (keseluruhan).
Dihadapkan pada kenyataan itu, maka (1) para pendukung Reforma Agraria harus “menjajakan” suatu gagasan yang sama sekali tidak ada dalam agenda diskursus umum tentang bagaimana merombak struktur ketimpangan agraria yang telah menyebabkan kemiskinan (Fakih 1997:xviii). (2) Gagasan Reforma Agraria juga akan berhadapan dengan arus utama ekonomi dunia yang lebih dimenangkan (didominasi) oleh gagasan ekonomi liberal yang kapitalistik dalam era yang dikenal dengan globalisasi. Dua kesulitan ini pada dasarnya berada pada tataran “perang posisi” dan kesulitan dalam membangun “blok historis” guna memproduksi hegemoni tandingan (counter hegemony).
Faktor ketiga yang ikut menjadi penghalang jalan Reforma Agraria datang dari kekuatan pro Reforma Agraria sendiri. Hingga kini onrop dan organisasi rakyat (tani) masih belum mampu menjadi kekuatan pendorong perubahan yang cukup kuat dan solid. Diakui atau tidak, baik ornop maupun organisasi rakyat (tani) masih banyak menghadapi kendala – pada tataran ideologis maupun praksis (Fakih 1996) – yang potensial menjadi faktor penghambat, bahkan kontra produktif terhadap upaya-upaya Reforma Agraria yang sejati. Padahal, jika kita kembali pada prasyarat pokok Reforma Agraria, selain adanya political will dari pemerintah, terpisahnya elite penguasa dari pengusaha, serta tersedianya data tentang masalah agraria yang lengkap, prasyarat pokok lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya organisasi rakyat (tani) yang kuat, mandiri dan memiliki komitmen yang tegas (King 1977 sebagaimana dikutip Wiradi 2001:6).
Keempat, kita juga masih menghadapi kenyataan, bahwa cita-cita untuk mewujudkan Reforma Agraria masih sering dituduh sebagai kehendak yang berakar dari ideologi komunis yang harus diperangi. Ironisnya, sikap phobi dan paranoid semacam ini tidak hanya melanda kalangan masyarakat awam dan mereka yang merasa sumberda ekonomi dan politiknya terancam, melainkan juga melanda kalangan intelektual, akademisi dan elit politik, bahkan sebagian kaum tani di pedesaan. Petani dan masyarakat pedesaan pada umumnya cenderung menghindari pembicaraan yang menyangkut masalah Reforma Agraria dan land reform. Alasannya, mereka takut dicap BTI (Barisan Tani Indonesia) atau dituduh PKI.
Kelima, faktor lain yang ikut menyumbang kesulitan pelaksanaan Reforma Agraria adalah langkanya pakar agraria di dalam negeri yang mau secara serius dan komprehensif mendalami masalah-masalah agraria, menyebarluaskan dan mewacanakan pemikirannya ke hadapan publik luas. Akibatnya, baik wacana teoretis, historis maupun deskripsi-empiris tentang masalah agraria menjadi barang yang sangat langka (Wiradi 2003). Dengan begitu, maka proses sosialisasi dan penyadaran – baik kepada masyarakat maupun pemerintah, bahkan kalangan ornop sekalipun – tentang hakikat dan arti pentingnya Reforma Agraria pun menjadi terhambat. Ini merupakan masalah serius, sebab sebuah pembaruan tanpa disertai kesadaran dan pemahaman yang jernih hanya akan melahirkan euphoria nirnalar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar