Kamis, 21 Februari 2008

Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments?

Land Reform Pro-Poor: Reformasi Agenda Strategis Masalah Agraria

Judul Asli: Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments?
Penulis: Ben Cousins
Oleh: Sindu Dwi Hartanto

Gambaran urbanisasi global dan kemiskinan pedesaan merupakan permasalahan structural yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam menyikapi perubahan sosial masyarakat menuju kesejahteraan yang berkeadilan. Ketimpangan structural yang terjadi menuju pada permasalahan yang dianggap oleh para pakar sebagai penyebanya adalah peramasalahan agrarian yang tidak kunjung terselesaikan. Masih selalu menjadi wacana, walaupun banyak pakar yang sudah mulai terlibat untuk banyak memikirkan keberlangsungan proses agrarian reform.
Dampak lemahnya pengkajian tentang masalah agrarian reform itu dilakukan dalam persepsi yang selalu mengakibatkan pada aspek kemiskinan dan akses lahan. Persepsi tentang kondisi lemahnya konstruksi dari masalah agrarian mengakibatkan dampak munculnya ekonomi informal yang sangat luas. Pandangan tentang ekonomi informal disikapi berbeda oleh beberapa pakar yaitu:
Pertama, Davis (2004) memperlihatkan bahwa kondisi masyarakat yang sekrang terjadi adalah suatu fenomena yang sangat memprihatinkan. Masyarakat mengalami kenyataan hidup yang bertambah parah dalam kondisi ekonomi yang informal, mengalami ketidak jelasan, dan itu dialami oleh lebih dari 1 milyar orang di dunia. Kondisi seperti itu merupakan gambaran dari dampak mobilitas penduduk dalam bentuk migrasi dan urbanisasi masyarakat yang terjadi secara cepat. Kondisi demikian memindahkan masyarakat pedesaan setiap minggunya hingga ratusan ribu orang menuju perkotaan. Suatu angka yang luar biasa dalam hitungan orang dalam kelompok pedeasan.
Karakteristik masyarakat dengan ekonomi informal digambarkan oleh Davis dalam beberapa ciri yaitu: 1) suatu masyarakat yang memiliki surplus tenaga kerja; 2) penghuninya hanya dapat melakukan sistem produksi, distribusi, dan kegiatan ekonomi dalam logika sistem sobsitensi; 3) untuk menjaga eksistensi hidupnya maka mereka harus melakukan perjuangan; 4) tidak hanya itu mereka juga melakukan eksploitasi diri; 5) mempunyai kompetisi yang ketat berkaitan dengan akses lahan.
Kedua, pandangan Hermando de Soto lebih optimis menghadapi dinamika ekonomi masyarakat yang dianggap informal. Pandangan de Soto yang berbeda adalah bahwa dinamika ekonomi informal ditempati jutaan pengusaha kecil (atau UKM) yang merupakan suatu keajaiban dari sistem ekonomi dunia kapitalis. Pandangan tersebut merupakan analisa sistem yang melihat suatu ekonomi informal dalam kacamata fungsional. Sehingga keterkaitan antara pengusaha kecil merupakan suatu bagian dari sistem kapitalis yang perlu diperhatikan, secara khusus oleh pemerintah. Nah, hal inilah yang belum dilakukan.
Ketiga, Ben Cousins lebih memberikan kajian dalam studi mikro di tingkat pedesaan. Pembangunan di negara berkembang banyak menghasilkan kegagalan, terutama kegagalan kebijakan pembangunan pedesaan yang terjadi pada masa dekade sebelumnya. Pembanguna pedesaan menciptakan kemiskinan yang susah untuk dilakukan perubahan. Dampak lainnya adalah sistem global yang mencoba melakukan ekspansi sistem koorporasi bisnis pertanian besar. Dampak globalisasi kontemporer memberikan suatu kekuatan untuk melakukan penyatuan komoditi pangan pertanian global menuju kontrol korporasi bisnis pertanian besar tersebut. Bagaimanapun, sistem korporasi global mengatur sistem produksi, proses dan distribusi hasil panen dan ternak dalam sistem pasar internasional.
Salah satu problem lanjutan dari sistem globalisasi pertanian berdampak pada kebanjiran harga ekspor yang murah sampai masuk ke pasar domestik. Sistem ekonomi pertaian perdesaan sudah tidak lagi menjadi harapan rumah tangga di pedesaan. Kehidupan mereka tidak dapat sepenuhnya disandarkan kepada pertanian saja. Mereka dipaksa mendapatkan mata pencaharian lainnya yang diusakan di tingkat lokal atau mereka akan terlempar ke luar dari desa untuk mencari sumber penghasilan lainnya yang tidak ada di desa—hanya ada di kota. Gambaran penjelasan tentang kondisi tersebut dapat dilihat dalam tulisan Deborah Bryceson yang telah menunjukkan de-agrarianisasi yang cukup besar dari ekonomi pedesaan sebagai hasil dari adaptasi struktur kebijakan. Analisis Briceson dapat menolong untuk menjelaskan diverifikasi mata pencaharian.
Dampak lainnya adalah memunculkan format baru tingkatan perbedaan sosial masyarakat petani (differensiasi sosial) dan masyarakat miskin perdesaan. Kondisi perbedaan sosial cenderung terbangun pada kondisi yang melekat pada produsen pedesaan dengan skala kecil untuk mulai memisahkan dalam kondisi yang berlawanan antara kelas pengusaha dan kelas pekerja. Namun, kondisi demikian membuat artikulasi berdasarkan gender, etnik, keagamaan, dan identitas lainnya menjadi semakin kompleks.
Keempat, Perubahan global banyak memberikan bermacam kesulitan. Rigg (2006) dalam tulisan Causin (2007) disebutkan bahwa proporsi penduduk desa yang besar di negara berkembang akan terus bertambah kesengsaraannya. Usaha yang dijanjikan bahwa perubahan ekonomi menuju kepada kesejahteraan merupakan suatu keragu-raguan. Penduduk desa tidak akan pernah menjadi ”pengusaha pedesaan” (rural entrepreneurs) karena mereka kekurangan sumber daya dan aset dasar yang diperlukan untuk mengembangkan diri, terutama kaitannya dengan tanah. Rigg pesimis juga tentang perubahan global yang dijanjikan, namun kenyataan memberikan gambaran yang memberikan dukungan membenarkannya.
Causin selanjutnya memberikan titik kritisnya pada masalah pembahasan yang diungkapkan untuk menjelaskan perubahan kondisi agraria abad 21. pertanyaanya adalah apa dasar pemikiran yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan land reform di abad 21? Karena menurut dia pandangan awal, di atas hanyalah suatu penjelasan yang sangat subjektif dan lebih sederhana untuk menjelaskan kompleksitas permasalahan agraria di abat ini. Dan semestinya pendapat di atas masih perlu dipertanyakan.
Menurut Causin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada masalah yaitu: pertama, masalah konflik (violent conflict). Konflik perlu diwaspadai dalam agenda mendesak land reform. Agenda land reform diharapkan dapat memberikan pengobatan dan membantu rekonstruksi pasca-konflik. Kedua, masalah promosi hak dan status sosial kelompok lokal dan wanita. Ketiga, perbaikan ketidak adilan sejarah. Keempat, melakukan promosi lahan untuk keberlanjutan lingkungan ekologi. Kelima, adalah isu identitas dan ketidak-adilan relasi kekuasaan.
Untuk menghindari permasalahan di atas setidaknya disarankan mempertimbangkan beberapa hal yaitu: pertama, keadilan ekonomi untuk land reform; kedua perjuangan land reform untuk rakyat miskin (pro-poor); ketiga, advokasi kebijakan. Reformasi harus dipastikan untuk memberikan jaminan produktifitas terhadap berlangsungya akumulasi kapital dan pembangunan nasional, eliminasi kemiskinan, dan transformasi sosial.
Rasionalitas untuk land reform perlu kembali dikuatkan sebagai tujuan strategis untuk kepentingan di atas. Namun apakah argumen ekonomi masih relevan untuk diartikulasikan lagi? Jika diperlukan dilakukan penyusunan kembali rasionalitas untuk menguatkan agenda strategis land reform.
Ada 6 tipologi dari sebagai kata kunci untuk melakukan reformulasi rasional mewujudkan land reform pro-poor, yaitu:
Pertama, pemikiran neo-liberal memfokuskan perhatiannya pada efissiensi produktif dan berpikir tentang kebijakan yang diharapkan akan mengoptimalkan sesuatu yang terbatas yaitu: lahan, tenaga kerja, dan modal untuk meningkatkan kekuatan pasar menuju proses penciptaan kesejahteraan. Kedua, tradisi neo-populis memfokuskan pada skala produksi termasuk kebijakan untuk merubah jenis, variasi bentuk, dan skala produksi. Ketiga, pembangunanisme yang berorientasi pada mata pencaharian terfokus pada bervariasinya sumber-sumber mata pencaharian masyaraakt miskin yang menolong dan menghindari keterbatasn diharapkan dapat memberikan pengamanan pada masalah perencanaan pembangunan.Keempat, pendekatan land reform untuk kesejahteraan yang difokuskan pada keamanan pangan rumah tangga. Kelima, tradisi populis radikal memusatkan perhatian pada kebutuhan konfigurasi struktur agraria baik lokal maupun global. Keenam, tradisi Marxian yang memberikan perhatian untuk mengevaluasi ekonomi land reform yang fokus pada relasi kelas dan relasi gender yang menyangga organisasi produksi dan struktur agraria yang ada.
Walaupun ada tawaran tentang munculnya aliran eklektiksisme (eclecticism) yang memfokuskan pada fokus yang diambil dari setiap aliran pemikiran di atas, namun sebenarnya beberapa pemikiran tersebut masih perlu suatu diskusi tindak lanjut yang fokus pada melakukan ulang format yang memberikan dukungan terwujudnya land reform yang pro-poor. Hal ini diperlukan karena percepatan dunia kontemporer. Inilah tantangan para aktor agraria untuk mengembangkan pemikiran kreatif untuk membuat skenario yang dapat dipercaya untuk keberlangsungan ekonomi yang pro-poor—baik di desa maupun di kota. Bagaimana agenda land reform yang dikehendaki? Bagaimana memformulasikan agraria reform yang pro-poor? Dasar pemikiran yang mana yang akan kita pergunakan? Melihat lokalitas, bagaimana kreatifitas untuk mengembangkan agenda tersebut? Deagrarianization?

Tidak ada komentar: