Kursus Studi I/ Draft 1 (Tidak untuk Dikutip)
TINJAUAN ULANG DAN KRITIK SINGKAT:
KEBANGKITAN AGENDA REFORMA AGRARIA DI AWAL ABAD 21 BERDASARKAN KONTEKS INDONESIA
Gamma Galudra
Social Forestry Specialist
World Agroforestry Centre
Bahan bacaan yang ditawarkan membahas tentang sejarah dan uraian singkat tentang pasang surut kebijakan reforma agraria di beberapa negara sepanjang kurun waktu abad 20. Courville dan Patel (2006) membahas tentang sejarah reforma agrarian dan membandingkan berbagai negara pelaksanaan reforma agrarianya. Mereka menekankan bahwa mekanisme pasar yang diberlakukan dapat membahayakan keadilan akses petani miskin atas tanah. Mekanisme pasar atas tanah terjadi pada saat revolusi industri dan terus didorong hingga kini oleh World Bank atas dasar efisiensi dan efektivitas. Pada abad 20, beberapa negara telah memulai reforma agraria namun tidak berkelanjutan, distribusi kekayaan dan kekuasaan yang timpang menyebabkan reforma agraria gagal dilaksanakan secara menyeluruh. Berdasarkan sejarah, mereka mencoba mengklasifikasikan pendorong dilaksanakannya reforma agraria: perang dingin, revolusi social, konsolidasi paska perang ke-II dan kompromi politik. Di Indonesia, kondisi yang sama berlaku dimana pemerintah mencoba mendobrak sistem dan penataan agraria kolonial paska kemerdekaan sebagai bentuk revolusi sosial atas ketidakadilan sistem agraria selama ini.
Sama dengan tulisan pertama, tulisan kedua yang disajikan oleh Ghimire (2006) juga membahas tentang sejarah singkat perkembangan kebijakan reforma agraria namun lebih menitikberatkan kegagalan dan keberhasilan kebijakan tersebut di beberapa negara. Dari pengalaman-pengalaman di beberapa negara tersebut, dapat dikatakan Indonesia telah melalui proses dan tantangan yang sama dengan negara-negara lain:
1. Lambannya kodifikasi hak-hak atas tanah berdasarkan hukum adat ke dalam konteks hukum agraria nasional sehingga masyarakat adat tidak terlindungi haknya. Hal ini menimbulkan konflik khususnya ketika investor ingin menguasai tanah.
2. Kesulitan keuangan terjadi di tahun 1960an merugikan bekas pemilik tanah yang tanahnya terkena reforma agraria sehingga mereka menentang inisiatif ini. Harga yang ditawarkan jauh lebih rendah daripada harga pasar.
3. Program sertifikasi dalam bentuk hak milik justru melemahkan sistem komunal dari masyarakat adat, khususnya di tanah-tanah publik.
4. Lemahnya kekuatan financial dan besarnya hutang paska tahun 1966 dan 1999 menyebabkan pemerintah menyepakati perdagangan bebas dan liberalisasi perdagangan, khususnya proteksi pasar non-beras. Fungsi Bulog dirampingkan menyebabkan petani-petani tidak memiliki proteksi atas nilai jual hasil pertanian mereka.
Namun, beliau tidak membahas bagaimana peranan sains menghambat kemajuan reforma agraria. Khusus di Indonesia, tanah-tanah perkebunan erfpacht dan partikelir yang diamanatkan menjadi bagian dari pendistribusian tanah malah menjadi kawasan hutan negara seperti sebagian tanah-tanah kawasan hutan di Jawa.
Tulisan ketiga, disajikan oleh Borras et al (2006), menjabarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dilaksanakan reforma agraria yaitu ekonomi dan politik. Di Indonesia, dorongan untuk melaksanakan reforma agraria sebagian besar didasarkan atas kedua alasan ini. Sayangnya, mereka tidak menjabarkan kemungkinan politik lingkungan dan industri hutan turut serta mendorong adanya kemungkinan reforma agraria di kawasan hutan di Indonesia seperti Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Perhutanan Sosial. Terlepas bahwa besarnya kontroversi pelaksanaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di kawasan hutan, HTR ini bertujuan bukan hanya sekedar mengentaskan kemiskinan namun juga mempercepat laju reforestasi di kawasan hutan yang kritis dan menekan laju deforestasi.
El-Ghomeny (2002) membahas topic yang serupa dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Dengan membandingkan sejarah dan pengalaman negara-negara yang telah melaksanakan reforma agraria, beliau kembali mendorong agar pelaksanaan reforma agraria dilakukan melalui intervensi negara bersama dengan mekanisme pasar. Salah satu topic yang menarik yang dibahas adalah bagaimana proses reforma agraria yang dilakukan di Afrika ternyata telah meminggirkan akses tanah masyarakat adat. Privatisasi dilakukan menyebabkan tiadanya perlindungan atas masyarakat sehingga mereka terlibat hutang, melemahnya hak komunal wanita, perubahan sistem pertanian subsisten menjadi ekspor dan pasar dan tekanan dari pebisnis untuk membeli tanah-tanah masyarakat. Indonesia harus berusaha memahami sistem penguasaan tanah masyarakat adapt, namun paska 1966 dan 1999 menyebabkan pemerintah berusaha memprivatisasi tanah-tanah masyarakat adapt karena memberikan kepastian hukum bagi para investor. Pengalaman yang hampir sama berlaku pada masa Hindia Belanda Agrarische Wet 1870.
Cousins (2007) membahas kondisi urbanisasi di perkotaan akibat kemiskinan di pedesaan. Kemiskinan merebak bukan hanya dikarenakan timpangnya kepemilikan petani, namun paksaan kepada liberalisasi perdagangan pertanian menyebabkan produk-produk pertanian petani sulit masuk ke pasar karena kalah bersaing dengan produk-produk luar. Akibatnya, petani-petani terpaksa mencari pendpatan non-pertanian atau menjadi buruh kasar di perkotaan. Kejadian ini juga berlaku di Indonesia, walaupun mereka mengaku petani dan memiliki lahan pertanian, hanya 40% pendapatan mereka berasal dari pertanian.
El-Ghomeny (2003) juga membahas perkembangan kebijakan reforma agraria, namun yang paling menarik adalah definisi dari reforma agraria itu sendiri. Jika seandainya reforma agraria adalah pendistribusian hak property dan hak guna tanah bagi kepentingan para petani tak bertanah, maka apakah hak-hak tanah adat dapat terakomodasikan dalam konteks reforma agraria nasional. Sejarah reforma agraria di Indonesia tidak membahas apakah tanah-tanah adat menjadi bagian strategi reforma agraria seperti halnya privatisasi. Sejauh ini, BPN lamban mengkodifikasi tanah-tanah adat ke dalam bagian dari hukum pertanahan nasional. Ini terbukti ketika BPN tidak mampu mensertifikasi tanah-tanah adat sehingga tidak terlindungi secara hukum.
Melanjutkan pembahasan sebelumnya, de Janvry dan Sadoulet (2001) membagi 4 kategori akses tanah yang menjadi bagian dari reforma agraria yaitu transfer intra-keluarga seperti warisan, akses melalui keanggotaan masyarakat seperti hak-hak tanah anggota masyarakat adat, akses melalui penjualan di pasar tanah dan akses melalui non-koersif seperti transmigrasi. Yang paling menarik adalah akses tanah berdasarkan common property resources (CPR). Di Indonesia, sekitar 70% tanah-tanah merupakan tanah publik, kawasan hutan. Akses kepada tanah-tanah ini melalui sistem CPR lebih memungkinkan daripada privatisasi mengingat tanah-tanah public ini ditetapkan dengan alasan perlindungan lingkungan. Pemerintah sejauh telah menggalakkan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Industri, dan Perhutanan Sosial sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan. Privatisasi cenderung menyulitkan pemerintah untuk mengatur pemilik melakukan perlindungan lingkungan seperti yang terjadi di DAS Solo dimana masyarakat abai dalam melakukan konservasi tanah dan air sehingga menyebabkan banjir besar di akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008.
Terakhir, dibahas pula tentang akses wanita terhadap tanah oleh Razavi (2007) sebagai bagian penting dari reforma agraria. Untuk konteks Indonesia, wanita cenderung melakukan sistem pertanian subsistem dimana prioritas utama mereka adalah kebutuhan keluarga. Kondisi berlainan dengan kaum pria yang cenderung memahami aspek pasar sehingga cenderung menanam produk-produk pertanian pasar. Seandainya tujuan dari reforma agraria adalah memperkuat kedaulatan pangan rumah tangga, hak kepemilikan atas nama wanita perlu digalakkan. Namun, jika tujuannya peningkatan pendapatan keluarga, maka hak kepemilikan atas nama pria perlu digalakkan.
Secara garis besar, seluruh penulis membahas secara panjang tentang pasang-surut kebijakan reforma agraria dan tantangan ke depan. Namun, sayangnya, mereka lebih menekankan aspek politik dan ekonomi sebagai pengendali pasang surut kebijakan reforma agraria dan mengabaikan aspek penting lainnya, yaitu kepentingan sains khususnya aspek lingkungan. Penataan agraria bukan hanya ditentukan oleh kepentingan politik dan ekonomi, namun juga kemajuan sains dan politik lingkungan. Di abad 21 ini, tantangan ke depan adalah perubahan iklim yang sekarang menjadi komoditas politik berbagai negara. REDD yang akan disepakati dan akan mengikat berbagai negara di akhir tahun 2012 dapat saja menghambat atau mendorong reforma agraria tergantung dari cara pandang kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar